Suatu hari, Nurha mengirimkan publikasi acara yang diadakan
oleh ABDI (salah satu perusahaan yang menawarkan jasa layanan gangguan
pendengaran) bertemakan ‘Mengajarkan Komunikasi Verbal Pada Anak Gangguan
Pendengaran’. Ia meminta bantuanku untuk meneruskan pesan tersebut kepada
teman-teman atau kenalanku yang bekerja dibidang jurnalistik. Tanpa ragu aku
membalas pesan singkatnya “Aku mau ikut”.
Dia menjawab pesanku dengan memberitahuku bahwa acara itu hanya diikuti
oleh orangtua yang anaknya mengalami gangguan pendengaran. Tapi aku tetap
memaksa untuk ikut. Ia mengatakan akan mencoba minta izin kepada panitia, tapi
ia tidak dapat menjanjikan apa-apa karena itu merupakan seminar khusus untuk
komunitas ibu-ibu yang memiliki anak gangguan pendengaran. Dan bagaimanakah hasilnya?
Alhamdulillah panitia memperbolehkan aku untuk mengikutinya. Bahagia? Of course. Bahkan aku memutuskan untuk
kembali dari liburanku ke sabang lebih cepat agar dapat mengikuti acara
tersebut. Apa yang terjadi ketika aku menghadiri acara tersebut? Ketika itu,
Nurha telat datang, lalu aku memutuskan untuk masuk duluan. Saat pendaftaran
ulang, salah seorang bertanya “Ibu dari siapa ya?” Krik krik krik. Aku kaget.
Bingung harus menjawab apa, spontan aku langsung menjawab “tantenya Fatih”.
Panitia itu ikutan bingung. Lalu aku pun menjelaskan bagaimana aku bisa sampai
ke acara tersebut. Setelah mendengarkan penjelasanku, entah apa yang dipikirkan
panitia yang duduk di meja registrasi itu, I
don’t really care, yang penting aku bisa masuk dan duduk cantik di sana
sambil menunggu kedatangan Nurha.
Lienk's Blog
Kamis, 17 Mei 2018
Minggu, 13 Mei 2018
SUPER MOM
Paulo Coelho mengatakan ’Tears are
words that need to be written’. I am
perfectly agreed with this quote. Hari ini, karena air mata yang pernah ku
teteskan, aku ingin menulis untuk mereka; ibu-ibu yang sangat luar biasa dimataku,
terutama untuk sahabatku sendiri yaitu Nurha, sekaligus mama dari anaknya yang
bernama Fatih.
Hati ini menjerit, rasanya sangat sakit, ketika Nurha
menceritakan tentang anak semata wayangnya yang divonis mengalami gangguan
pendengaran oleh sang dokter. Aku hanya melongo. Antara percaya dan tidak
dengan apa yang sedang ku dengarkan saat itu. Bagaimana tidak, Fatih yang
bermain denganku tidak terlihat mengalami kelainan, semua terlihat baik-baik
saja. Ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku saat itu, salah
satunya, “bagaimana Fatih bisa mengaji kalau ia tidak bisa mendengar?”. Rasanya
sakit berkali-kali jika mengingat pertanyaan itu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana cara Nurha mengajarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada anaknya?
Bagaimana ia mengajarkan bacaan sholat? Sholat merupakan ibadah yang paling utama, bagaimana bisa
seorang manusia hidup tanpa beribadah? Akan jadi apa ia kelak? Begitu banyak
pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Sakit yang kurasakan tidak sebanding
dengan sakitnya perasaan Nurha yang jelas-jelas ia adalah ibu kandung dari
Fatih sendiri.
Kamis, 03 Mei 2018
How to Treat Yourself Happy
Why
do you look so upset buddy?
It
such you don’t know how to create the happiness for yourself. To be sure, the
happiness comes from you, not from the other persons. Everyone has their own
problem in their social life, including you and me absolutely. Never assume
that you’re the only one who has complicated trouble in this word; undoubtedly that’s
not true. Well, here some ways how to gain the happiness.
Senin, 23 April 2018
Sang Kenangan
Sedu.
Sepi. Duka lama kembali bersua ketika telinga kembali mendengar dentuman ombak
biru memecahkan kehampaan petang. Sore itu, manusia, satu persatu datang silih
berganti. Ada yang berkunjung dengan keluarga dan ada yang datang dengan pasangan
masing-masing. Tepat dihadapanku, beberapa remaja asik berpose ala-ala kids
zaman now. Tidak jauh dari itu, terlihat beberapa anak manusia yang sedang
bercanda gurau sambil menghadap ke lautan luas. Di sisi lain, seorang bocah
sedang mengejar kepiting putih di bibir pantai. Aku mendekatinya. Sembari
tersenyum, lantas melemparkan beberapa pertanyaan. Si kecil membalas senyuman dan
menyapaku kembali dengan hangat. Beberapa menit bertegur sapa akhirnya
memutuskan untuk mengejar kepiting bersama. Kaki kecilnya begitu lincah berlari
menelusuri pantai. Sesekali mulut mungilnya melemparkan senyum kepadaku dan
tertawa riang. Betapa bahagianya menjadi anak-anak, pikirku. Semoga kelak diusia
dewasanya, si bocah masih tetap tersenyum bahagia seperti ini.
Rabu, 21 Februari 2018
AKU TANPAMU
Dulu. Sekarang. Nanti.
Semua akan berubah, tak akan lagi
sama.
Aku, Kamu. Dia.
Partikel kecil yang tak dapat disatukan,
terus melebur dalam ketidakpastian
waktu.
Kau izinkan badai menggores luka, lubang
gelap terpojok sudah,
taati alam mengaung pilu, akhir
kisah tanpa restu Penguasa
Purnama pertama, kedua, dan ketiga,
tanpamu.
Masih disini, dengan rasa yang
berbeda.
Tetap bersinar,
mencari kedamain hati,
menenggelamkan jiwa yang rapuh,
membangun pondasi beralas dogma.
Jumat, 01 Desember 2017
Aku, Kamu dan Dia
Ku
genggam engkau dengan erat,
tak
ingin ku lepas,
walau
sedetik pun,
kehilanganmu
kisah yang tak pernah ku lukiskan,
bersamamu
ku menjaring asa.
16
tahun kebersamaan ini berlalu,
ada
banyak cerita yang tak dapat dikisahkan kembali.
Kisah
ketika aku, kamu dan dia,
merajut
mimpi bersama,
di
sebuah desa kecil,
terbentang
luas ladang permadani,
gaduh
suaru kerbau membajak sawah,
lika
liku jalan tikus,
bocah
kecil bersorak kegirangan,
teriakan
penjual sayur keliling memekakkan telinga,
aku,
kamu dan dia,
di
bawah pohon jambu milik tetangga,
melukiskan
impian,
berjuang
melawan keegoisan,
alasannya
sederhana,
“demi
masa depan”
Sabtu, 11 November 2017
Jomblo Itu Pilihan
Hello
buddy.. long time no see yaa..
Tiba-tiba
saja pingin menulis. Rencana hendak menulis teori yang baru saja dibahas tadi
pagi bersama mahasiswa. Akan tetapi, setelah seharian (pergi pagi pulang sore),
rasanya malam ini aku tidak sanggup untuk merangkai kata-kata indah dalam
merumuskan kembali teori dekontruksi Derrida yang bikin garis muka tambah
menua. Baiklah, mari kita lupakan sejenak tentang buku, laptop, dan tugas
kampus. Semoga malam minggu berjalan dengan semestinya. Aku. Disini. Masih
dengan rasa yang sama.
Jumat, 12 Mei 2017
Aku dan Batu Nisan
Saat
pertama kali membaca ‘Pameran Batu Nisan’
dari akun instagram seorang teman, otak ini tidak berhenti mengeluarkan
berbagai macam pertanyaan? Mulai dari konsep acara hingga pada autentik batu
nisan itu sendiri. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk datang dan menyaksikan langsung pameran tersebut. Awalnya saya berencana untuk berangkat bersama beberapa teman lembaga, namun karena kesibukan mereka yang begitu padat, akhirnya saya memutuskan untuk menghadiri pameran tersebut sendirian demi mengobati rasa penasaran saya.
Pameran
khusus mengenal batu nisan Aceh sebagai warisan budaya di Asia Tenggara ini
merupakan acara yang diadakan oleh Museum Negeri Aceh yang bekerjasama dengan
Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Acara ini diadakan mulai dari tanggal
9-16 Mei 2017 bertempat di Museum Aceh, Banda Aceh.
Sekitar
12 batu nisan dipajang di dalam ruangan dan 8 lainnya dipamerkan di luar
ruangan. Batu nisan yang dipamerkan di pameran tersebut merupakan batu orisinil.
Batu-batu tersebut merupakan batu yang diselamatkan oleh Mapesa dari tempat-tempat
yang telah digusur, yang kini sudah berpondasi bangunan kokoh. Selain itu juga terdapat
poster dan gambar nisan mewakili setiap zamannya yaitu Samudra Pasai, lamuri,
dan Aceh Darussalam. Kebanyakan dari batu-batu tersebut merupakan batu nisan Aceh Darussalam. Berikut beberapa contoh batu nisan:
Batu nisan Anonim, pada penghujung abad-16 Masehi. Ditemukan di gampong Pango Raya, Banda Aceh pada tahun 2015 |
Batu nisan anonim pada periode abad 18-19 Masehi. Ditemukan di gampong Pango Raya, Banda Aceh pada tahun 2015. |
Batu nisan Bertarikh wafat pada 944 Hijriah(1537 Masehi). Ditemukan di gampong Pango Deah, Banda Aceh pada tahun 2012. |
Batu nisan Lamori abad ke-13 bentuknya cenderung kerucut atau disebut juga dengan batu nisan Plangpleng. Tipe batu nisan ini merupakan tipe peralihan dari pra-Islam ke Islam. Bentuknya sederhana dan unik karena menyerupai lingga atau menhir.
Selain itu, ada yang menarik bagi saya pribadi yaitu tentang batu nisan dan kisah Raja Kanayan yang hidup pada masa kerajaan Samudra Pasai. Berdasarkan inskripsi batu nisan yang telah ditemukan, CISAH (Tim Central informationfor samudra pasai heritage) meyakini bahwa salah seorang panglima perang yang ditakuti oleh musuhnya pada masa Samudra Pasai abad ke-15 adalah Raja Kayanan. Raja kanayan juga dikenal sebagai panglima perang laut yang lihai dan pemberani. Ada banyak kapal musuh yang berhasil ditenggelamkan olehnya, sehingga musuhnya mengatakan bahwa Raja Kanayan merupakan musuh yang tidak pernah terdamaikan karena telah berani menelan banyaknya kapal musuh. Terkait batu nisannya sendiri, pihak panitia tidak memajangnya, namun hanya menampilkan gambar dan deskripsinya saja dikarenakan nisan dan makamnya masih berada di komplek makam kuno di Gampoeng Ujong, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Makam tersebut ditemukan pada tahun 2009 silam oleh seorang peneliti sejarah islam.
Sekian dulu cerita tentang nisannya ya. Semoga malam ini saya bisa tidur dengan nyenyak setelah kecapean muter-muter pameran batu nisan sendiri, plus selfie sama salah satu nisan yang menurut saya kaligrafinya cantik dan unik, Heheeee
Salah satu pemandu sedang menjelaskan tentang sejarah Malik Alawuddin |
Pengunjung yang sedang berdiskusi dengan salah satu pemandu |
Selfie bareng masykur, pemandu dan juga anggota Seuramoe Budaya |
Batu nisan yang dipamerkan di luar ruangan |
Pengunjung asal Jakarta yang sedang mengabadikan moment liburannya |
Aku dan Batu nisan, Hahaaaaaa |
Sumber:
1. Pihak Panitia atau pemandu yang bertugas
2.http://misykah.com/sesosok-panglima-perang-yang-sangat-ditakuti-musuh-pada-zaman-samudra-pasai/
Selasa, 18 April 2017
KEMATIAN
“If you stay, I’ll do whatever you want. I’ll quit the band,
go with you to Ne York. But if you need me to go away, I’ll do that, too.”
Demikian bunyi salah satu kutipan yang terdapat dalam novel If I Stay karya Gayle Forman. Demi
sebuah kehidupan, Adam yang merupakan salah satu aktor dalam cerita tersebut
rela melakukan apa saja termasuk meninggalkan cita dan cinta yang telah
digapainya agar sang kekasih Mia Hall dapat bangkit kembali dari komanya. Andai
kematian dapat ditawarkan seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut, mungkin
tidak ada satu manusia pun yang ingin meninggalkan dunia ini. Mendengar jerit
kesakitan yang dirasakan oleh orang yang sedang mengalami sakaratul maut,
rasanya semua kita ingin lari dari kenyataan tapi apa daya kita hanyalah milik
Allah dan akan kemabali kepadaNya, dan kematian memang takdir yang telah
dituliskan Allah untuk kita semua sebagai hambaNya.
Kematian merupakan
salah satu ketakutan besar yang dihadapi masyarakat modern saat ini. Kematian
tidak hanya menghampiri lansia (lanjut usia) saja, namun juga dapat terjadi
pada remaja, dewasa, anak-anak bahkan bayi sekalipun. Hakikatnya tidak ada satu
manusia pun yang tahu kapan kematian akan datang. Dokter yang selama ini
mencoba untuk memprediksikan umur pasiennya juga menyerahkan semua itu kepada Allah.
Mereka tidak dapat memastikan kapan tepatnya kematian terjadi. Kematian
merupakan rahasia Allah yang tidak dapat ditawarkan dan dielakkan oleh satu
manusia pun di muka bumi ini.
Manusia dapat mendefinisikan kematian dengan cara yang
berbeda. Curran (1975: 254) mengatakan:
“We can, however, get a different
perspective of death by seeing it neither as attitude nor as a price, but as a
frame; that is, death frame life by completing the picture of life. The analogy
of the artist comes to mind; when at last he puts the curtain around the
painting, it is finished. So we forever see the painting and its final brush
marks. Similarly, death is the final brush mark of life. It completes life.”
Kematian dapat dilihat dari perspektif
yang berbeda oleh setiap manusia. Sebagian orang memandang kematian sebagai hal
yang buruk dan menakutkan, sebagian berpendapat bahwa kematian merupakan proses
dari kehidupan yang nyata. Sebagian orang percaya akan adanya kehidupan setelah
kematian, dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah
kehidupan yang sesungguhnya. Sebagian orang melakukan kebaikan agar kelak
mendapatkan surga, dan sebagian lagi melakukan kebaikan agar namanya bisa
selalu dikenang oleh banyak orang di dunia ini.
Mahasuci/Maha Melimpah Kebajikan
Dia (Allah) yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Yang menciptakan maut dan hidup untuk menguji kamu, siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS.
al-Mulk (67): 1-2)
Sesungguhnya dalam Al-Quran juga telah dijelaskan mengenai
kehidupan dan kematian. Baik buruknya suatu perkara tergantung bagaimana kita
memandang dan menyikapinya. Bukankah Allah telah menjanjikan kebaikan untuk
semua itu? Lantas mengapa kita masih merasa takut terhadap kehendakNya?
Elizabeth Kubler-Ross
dalam bukunya yang berjudul on death and
Dying menjelaskan tentang tahapan manusia dalam menghadapi kematian
ditinjau dari perspektif psikologi. Menurutnya ada lima
reaksi akibat dari tragedi kematian, antara lain adalah Denial, anger, bargaining, dan
depression, acceptance. Pertama dimulai dari ‘penolakan’ akan kondisi yang
dihadapi oleh pasien itu sendiri, yaitu keadaan ketika ia tidak bisa menerima
jika dirinya yang akan mengalami tragedi yang paling menakutkan yaitu kematian.
Pada saat pertahanan dan kepercayaan dirinya runtuh, pasien mulai mengalami
fase ‘kemarahan’. Pada fase ini
pasien tidak bisa mengontrol dirinya karena belum bisa menerima kenyataan bahwa
ia akan menghadapi sakaratul maut. Menurut pasien hal tersebut seharusnya tidak
terjadi padanya dan ia pun terus bertanya, ‘mengapa itu harus dia’ dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang terus dilontarkan karena kemarahannya. Berdasarkan
beberapa pertanyaan yang muncul dari benak pasien lalu terjadi fase
‘tawar-menawar’. Dalam hal ini
pasien mulai menawarkan dirinya untuk berprilaku baik dan kematian itu bisa
dicabut atas dirinya. Meski demikian, pasien tetaplah manusia yang akan
menemukan titik di mana ia akan menyerah dan terjadilah yang namanya fase
‘depresi’. Dalam kondisi ini pasien mengalami penurunan kepercayaan diri dan
rasa akan kehilangan, lambat laun pada akhirnya ia akan ‘menerima’ kenyataan
bahwa semua orang akan menghadapi sakaratul maut.
Penelitian yang
dilakukan Ross terlihat jelas bahwa kematian sangat dihindari bahkan ditolak.
Lima fase di atas menunjukkan kekhawatiran masyarakat saat menghadapi sakratul
maut. Lantas apakah ketakutan itu hanya terjadi pada orang yang akan mengalami
sakratul maut? Lima fase tersebut ternyata juga dapat terjadi kepada orang yang akan
ditinggalkan. Awalnya mereka akan ‘menolak’ ketika mengetahui bahwa keluarga
atau kerabat dekat dari mereka akan meninggalkan mereka. Kemudian mereka ‘marah’
atas ketidakadilan yang dirasakan. Lalu terjadi tawar-menawar atas dirinya.
Selanjutnya mengalami ‘depresi’ akibat dari ketidakmampuannya dalam menghadapi
kenyataan. Pada akhirnya, ketika tragedi tersebut mengambil nyawa salah satu
dari keluarga atau kerabat dekat, lambat laun mereka akan ‘menerima’ kenyataan
bahwa semua manusia akan mengalami sakaratul maut, termasuk dirinya.
Tahapan-tahapan yang
ditawarkan oleh Ross merupakan hasil penelitiannya terhadap pasien yang akan
mengalami sakaratul maut yang mana permasalahan berawal dari ketakutan yang
dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Ross (1998) berpendapat bahwa dengan mempelajari
sikap terhadap kematian maka masyarakat dapat memperoleh kesempatan berdamai
yaitu berdamai dengan luka atas kematian, baik kematian dirinya sendiri maupun
kematian keluarga.
Manusia harus
membentengi diri secara psikologis dengan berbagai cara untuk mengimbangi
semakin meningkatnya ketakutan akan kematian dan semakin menurunnya kemampuan
untuk memperkirakan serta melindungi diri dari kehancuran. Secara psikis, ia
sesaat tidak mengingkari kenyataan tentang kematiannya. Karena secara tidak
sadar kita tidak mengakui kematian kita dan mengakui keabadian, namun kita
mengakui kematian orang lain, berita-berita tentang jumlah orang yang tewas
dipertempuran, peperangan, di jalan raya hanya akan mendukung kepercayaan bahwa
- sadar kita akan kekekalan kita dan mendukung untuk bergmbira - di kedalaman
alam bawah - sadar kita - bahwa itu terjadi pada “orang lain, bukan aku.”
(Ross, 1998: 17)
Masyarakat cenderung tidak mengakui
kematian dirinya sendiri karena selama ini mereka hanya dapat menvisualisasikan
kematian orang lain tanpa pernah merasakan kematian hinggap pada tubuh mereka
sendiri. Ketika kematian menghampiri maka saat itulah mereka sadar akan
keberadaan kematian. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat modern
yaitu dengan menentangnya, seperti yang diungkapkan Ross (1998: 17) yaitu bila pengingkaran tak
mungkin lagi dilakukan, kita akan berusaha menguasai kematian dengan
menentangnya.
Apakah sekarang kita
termasuk orang yang menentang kematian? Mengapa? Apakah karena ketidaksiapan kita? Lantas apa yang harus
kita lakukan agar kita dapat menerima takdir ini?
Patricia Weenolsen
dalam bukunya yang berjudul Mati Bahagia menjelaskan bahwa dengan mempersiapkan
kematian dapat mengubah hidup kita. Ia menyebutkan ada 22 poin yang dapat diambil
dari orang yang hidup dalam kesadaran akan datangnya kematian. Dari sekian
banyak poin di atas ada beberapa poin yang dapat penulis petik (1) kesadaran
terhadap maut akan membuat kita lebih berani dalam melakukan suatu tindakan
karena kematian sudah lazim bagi kita dan semua orang akan mengalaminya,
termasuk diri kita ini. (2) ketika dokter menfonis umur yang hanya tinggal
sebentar lagi, maka saat itulah kita sadar bahwa kehidupan ini sangat lah berharga,
dengan demikian kita dapat menghargai sisa kehidupan dengan melakukan hal-hal
yang baik. (3) belajar menyusun prioritas hidup, tidak menunda-nunda pekerjaan,
dan melakukan segala sesuatu dengan hati yang riang. (4) dapat menciptakan
hubungan yang lebih baik dengan keluarga, kerabat, teman-teman, bahkan musuh
kita sekalipun. Meminta maaf dan memberikan maaf kepada orang-orang yang
memiliki hubungan tidak baik dengan kita sehingga hidup menjadi lebih damai.
(5) kesadaran kematian dapat menghantarkan kita untuk terus menjadi pribadi
yang lebih baik karena kita tahu bahwa kematian akan menghampiri kapan pun dan
dimana pun kita berada. (6) semua yang disebutkan di atas merupakan tugas
terpenting kita sebagai manusia yaitu perkembangan
rohani, agar kelak ketika maut datang kita sudah benar-benar siap untuk menghadapinya.
Kesadaran akan maut
dapat mengajari kita banyak hal seperti yang telah disebutkan di atas. Lantas
sudahkah kita menyadari itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri dalam menghadapi
kematian?
Sumber:
Forman,
Gayle. 2009. If I Stay. New York: A Pinguin
Random House Company
Curran, Charles A. 1975. “Death and Dying.
Sumber: Journal of Religion and Health”, Vol. 14, No. 4 (Oct., 1975), pp.
254-264 http://www.jstor.org/stable/27505312 (diakses 17 April 2017 pukul 10.12 WIB)
Ross,
Elisabeth Kubler. 1998. On Death and
Dying (kematian sebagai bagian kehidupan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Weenelson, Patricia. Mati Bahagia (the Art of
Dying). Jakarta: PT.Gramedia
Senin, 27 Maret 2017
HUJAN
Kau…
butiran penyejuk sukma,
rintikan yang membisikkan kerinduan,
dan anugerah Tuhan yang tak terhingga,
dalam kehidupanku.
Langganan:
Postingan (Atom)