Selasa, 18 April 2017

KEMATIAN


“If you stay, I’ll do whatever you want. I’ll quit the band, go with you to Ne York. But if you need me to go away, I’ll do that, too.”

Demikian bunyi salah satu kutipan yang terdapat dalam novel If I Stay karya Gayle Forman. Demi sebuah kehidupan, Adam yang merupakan salah satu aktor dalam cerita tersebut rela melakukan apa saja termasuk meninggalkan cita dan cinta yang telah digapainya agar sang kekasih Mia Hall dapat bangkit kembali dari komanya. Andai kematian dapat ditawarkan seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut, mungkin tidak ada satu manusia pun yang ingin meninggalkan dunia ini. Mendengar jerit kesakitan yang dirasakan oleh orang yang sedang mengalami sakaratul maut, rasanya semua kita ingin lari dari kenyataan tapi apa daya kita hanyalah milik Allah dan akan kemabali kepadaNya, dan kematian memang takdir yang telah dituliskan Allah untuk kita semua sebagai hambaNya.
Kematian merupakan salah satu ketakutan besar yang dihadapi masyarakat modern saat ini. Kematian tidak hanya menghampiri lansia (lanjut usia) saja, namun juga dapat terjadi pada remaja, dewasa, anak-anak bahkan bayi sekalipun. Hakikatnya tidak ada satu manusia pun yang tahu kapan kematian akan datang. Dokter yang selama ini mencoba untuk memprediksikan umur pasiennya juga menyerahkan semua itu kepada Allah. Mereka tidak dapat memastikan kapan tepatnya kematian terjadi. Kematian merupakan rahasia Allah yang tidak dapat ditawarkan dan dielakkan oleh satu manusia pun di muka bumi ini.
Manusia dapat mendefinisikan kematian dengan cara yang berbeda. Curran (1975: 254) mengatakan:

“We can, however, get a different perspective of death by seeing it neither as attitude nor as a price, but as a frame; that is, death frame life by completing the picture of life. The analogy of the artist comes to mind; when at last he puts the curtain around the painting, it is finished. So we forever see the painting and its final brush marks. Similarly, death is the final brush mark of life. It completes life.”

Kematian dapat dilihat dari perspektif yang berbeda oleh setiap manusia. Sebagian orang memandang kematian sebagai hal yang buruk dan menakutkan, sebagian berpendapat bahwa kematian merupakan proses dari kehidupan yang nyata. Sebagian orang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang sesungguhnya. Sebagian orang melakukan kebaikan agar kelak mendapatkan surga, dan sebagian lagi melakukan kebaikan agar namanya bisa selalu dikenang oleh banyak orang di dunia ini.

Mahasuci/Maha Melimpah Kebajikan Dia (Allah) yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan maut dan hidup untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk (67): 1-2)

Sesungguhnya dalam Al-Quran juga telah dijelaskan mengenai kehidupan dan kematian. Baik buruknya suatu perkara tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya. Bukankah Allah telah menjanjikan kebaikan untuk semua itu? Lantas mengapa kita masih merasa takut terhadap kehendakNya?
Elizabeth Kubler-Ross dalam bukunya yang berjudul on death and Dying menjelaskan tentang tahapan manusia dalam menghadapi kematian ditinjau dari perspektif psikologi. Menurutnya ada lima reaksi akibat dari tragedi kematian, antara lain adalah Denial, anger, bargaining, dan depression, acceptance. Pertama dimulai dari ‘penolakan’ akan kondisi yang dihadapi oleh pasien itu sendiri, yaitu keadaan ketika ia tidak bisa menerima jika dirinya yang akan mengalami tragedi yang paling menakutkan yaitu kematian. Pada saat pertahanan dan kepercayaan dirinya runtuh, pasien mulai mengalami fase ‘kemarahan’. Pada fase ini pasien tidak bisa mengontrol dirinya karena belum bisa menerima kenyataan bahwa ia akan menghadapi sakaratul maut. Menurut pasien hal tersebut seharusnya tidak terjadi padanya dan ia pun terus bertanya, ‘mengapa itu harus dia’ dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus dilontarkan karena kemarahannya. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang muncul dari benak pasien lalu terjadi fase ‘tawar-menawar’. Dalam hal ini pasien mulai menawarkan dirinya untuk berprilaku baik dan kematian itu bisa dicabut atas dirinya. Meski demikian, pasien tetaplah manusia yang akan menemukan titik di mana ia akan menyerah dan terjadilah yang namanya fase ‘depresi’. Dalam kondisi ini pasien mengalami penurunan kepercayaan diri dan rasa akan kehilangan, lambat laun pada akhirnya ia akan ‘menerima’ kenyataan bahwa semua orang akan menghadapi sakaratul maut.
Penelitian yang dilakukan Ross terlihat jelas bahwa kematian sangat dihindari bahkan ditolak. Lima fase di atas menunjukkan kekhawatiran masyarakat saat menghadapi sakratul maut. Lantas apakah ketakutan itu hanya terjadi pada orang yang akan mengalami sakratul maut? Lima fase tersebut ternyata juga dapat terjadi kepada orang yang akan ditinggalkan. Awalnya mereka akan ‘menolak’ ketika mengetahui bahwa keluarga atau kerabat dekat dari mereka akan meninggalkan mereka. Kemudian mereka ‘marah’ atas ketidakadilan yang dirasakan. Lalu terjadi tawar-menawar atas dirinya. Selanjutnya mengalami ‘depresi’ akibat dari ketidakmampuannya dalam menghadapi kenyataan. Pada akhirnya, ketika tragedi tersebut mengambil nyawa salah satu dari keluarga atau kerabat dekat, lambat laun mereka akan ‘menerima’ kenyataan bahwa semua manusia akan mengalami sakaratul maut, termasuk dirinya.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Ross merupakan hasil penelitiannya terhadap pasien yang akan mengalami sakaratul maut yang mana permasalahan berawal dari ketakutan yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Ross (1998) berpendapat bahwa dengan mempelajari sikap terhadap kematian maka masyarakat dapat memperoleh kesempatan berdamai yaitu berdamai dengan luka atas kematian, baik kematian dirinya sendiri maupun kematian keluarga.

Manusia harus membentengi diri secara psikologis dengan berbagai cara untuk mengimbangi semakin meningkatnya ketakutan akan kematian dan semakin menurunnya kemampuan untuk memperkirakan serta melindungi diri dari kehancuran. Secara psikis, ia sesaat tidak mengingkari kenyataan tentang kematiannya. Karena secara tidak sadar kita tidak mengakui kematian kita dan mengakui keabadian, namun kita mengakui kematian orang lain, berita-berita tentang jumlah orang yang tewas dipertempuran, peperangan, di jalan raya hanya akan mendukung kepercayaan bahwa - sadar kita akan kekekalan kita dan mendukung untuk bergmbira - di kedalaman alam bawah - sadar kita - bahwa itu terjadi pada “orang lain, bukan aku.” (Ross, 1998: 17)

Masyarakat cenderung tidak mengakui kematian dirinya sendiri karena selama ini mereka hanya dapat menvisualisasikan kematian orang lain tanpa pernah merasakan kematian hinggap pada tubuh mereka sendiri. Ketika kematian menghampiri maka saat itulah mereka sadar akan keberadaan kematian. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat modern yaitu dengan menentangnya, seperti yang diungkapkan Ross (1998: 17) yaitu bila pengingkaran tak mungkin lagi dilakukan, kita akan berusaha menguasai kematian dengan menentangnya.
Apakah sekarang kita termasuk orang yang menentang kematian? Mengapa? Apakah karena  ketidaksiapan kita? Lantas apa yang harus kita lakukan agar kita dapat menerima takdir ini?
Patricia Weenolsen dalam bukunya yang berjudul Mati Bahagia menjelaskan bahwa dengan mempersiapkan kematian dapat mengubah hidup kita. Ia menyebutkan ada 22 poin yang dapat diambil dari orang yang hidup dalam kesadaran akan datangnya kematian. Dari sekian banyak poin di atas ada beberapa poin yang dapat penulis petik (1) kesadaran terhadap maut akan membuat kita lebih berani dalam melakukan suatu tindakan karena kematian sudah lazim bagi kita dan semua orang akan mengalaminya, termasuk diri kita ini. (2) ketika dokter menfonis umur yang hanya tinggal sebentar lagi, maka saat itulah kita sadar bahwa kehidupan ini sangat lah berharga, dengan demikian kita dapat menghargai sisa kehidupan dengan melakukan hal-hal yang baik. (3) belajar menyusun prioritas hidup, tidak menunda-nunda pekerjaan, dan melakukan segala sesuatu dengan hati yang riang. (4) dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga, kerabat, teman-teman, bahkan musuh kita sekalipun. Meminta maaf dan memberikan maaf kepada orang-orang yang memiliki hubungan tidak baik dengan kita sehingga hidup menjadi lebih damai. (5) kesadaran kematian dapat menghantarkan kita untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik karena kita tahu bahwa kematian akan menghampiri kapan pun dan dimana pun kita berada. (6) semua yang disebutkan di atas merupakan tugas terpenting kita sebagai manusia yaitu perkembangan rohani, agar kelak ketika maut datang kita sudah benar-benar siap untuk menghadapinya.
Kesadaran akan maut dapat mengajari kita banyak hal seperti yang telah disebutkan di atas. Lantas sudahkah kita menyadari itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian?

Sumber:
Forman, Gayle. 2009. If I Stay. New York: A Pinguin Random House Company

Curran, Charles A. 1975. “Death and Dying. Sumber: Journal of Religion and Health”, Vol. 14, No. 4 (Oct., 1975), pp. 254-264 http://www.jstor.org/stable/27505312 (diakses 17 April 2017 pukul 10.12 WIB)

Ross, Elisabeth Kubler. 1998. On Death and Dying (kematian sebagai bagian kehidupan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama


Weenelson, Patricia. Mati Bahagia (the Art of Dying). Jakarta: PT.Gramedia 

5 komentar:

  1. Teringat akan pelajaran pada masa kuliah tentang 5 tahapan berduka. Kalau begini bacaannya kan lebih mudah mengertinya, dan nggk mumang kepala dibuatnya kalau harus baca teks book. Silahkan mampir juga ke rumahku kak Lisma :) www.yellsaints.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. iya yelly, semoga tulisannya dapat bermanfaat buat reader :)

      Sipppppp yelly

      Hapus
  2. Kita semua akan kembali kesana

    BalasHapus
  3. Bener bgt dek. So? Udh siap mati belum? hahhaaaa

    BalasHapus
  4. Postingan yang sangat bermanfaat.
    Keep writing, sahabat
    sharing is caring.. :)

    BalasHapus