“If you stay, I’ll do whatever you want. I’ll quit the band,
go with you to Ne York. But if you need me to go away, I’ll do that, too.”
Demikian bunyi salah satu kutipan yang terdapat dalam novel If I Stay karya Gayle Forman. Demi
sebuah kehidupan, Adam yang merupakan salah satu aktor dalam cerita tersebut
rela melakukan apa saja termasuk meninggalkan cita dan cinta yang telah
digapainya agar sang kekasih Mia Hall dapat bangkit kembali dari komanya. Andai
kematian dapat ditawarkan seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut, mungkin
tidak ada satu manusia pun yang ingin meninggalkan dunia ini. Mendengar jerit
kesakitan yang dirasakan oleh orang yang sedang mengalami sakaratul maut,
rasanya semua kita ingin lari dari kenyataan tapi apa daya kita hanyalah milik
Allah dan akan kemabali kepadaNya, dan kematian memang takdir yang telah
dituliskan Allah untuk kita semua sebagai hambaNya.
Kematian merupakan
salah satu ketakutan besar yang dihadapi masyarakat modern saat ini. Kematian
tidak hanya menghampiri lansia (lanjut usia) saja, namun juga dapat terjadi
pada remaja, dewasa, anak-anak bahkan bayi sekalipun. Hakikatnya tidak ada satu
manusia pun yang tahu kapan kematian akan datang. Dokter yang selama ini
mencoba untuk memprediksikan umur pasiennya juga menyerahkan semua itu kepada Allah.
Mereka tidak dapat memastikan kapan tepatnya kematian terjadi. Kematian
merupakan rahasia Allah yang tidak dapat ditawarkan dan dielakkan oleh satu
manusia pun di muka bumi ini.
Manusia dapat mendefinisikan kematian dengan cara yang
berbeda. Curran (1975: 254) mengatakan:
“We can, however, get a different
perspective of death by seeing it neither as attitude nor as a price, but as a
frame; that is, death frame life by completing the picture of life. The analogy
of the artist comes to mind; when at last he puts the curtain around the
painting, it is finished. So we forever see the painting and its final brush
marks. Similarly, death is the final brush mark of life. It completes life.”
Kematian dapat dilihat dari perspektif
yang berbeda oleh setiap manusia. Sebagian orang memandang kematian sebagai hal
yang buruk dan menakutkan, sebagian berpendapat bahwa kematian merupakan proses
dari kehidupan yang nyata. Sebagian orang percaya akan adanya kehidupan setelah
kematian, dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah
kehidupan yang sesungguhnya. Sebagian orang melakukan kebaikan agar kelak
mendapatkan surga, dan sebagian lagi melakukan kebaikan agar namanya bisa
selalu dikenang oleh banyak orang di dunia ini.
Mahasuci/Maha Melimpah Kebajikan
Dia (Allah) yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Yang menciptakan maut dan hidup untuk menguji kamu, siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS.
al-Mulk (67): 1-2)
Sesungguhnya dalam Al-Quran juga telah dijelaskan mengenai
kehidupan dan kematian. Baik buruknya suatu perkara tergantung bagaimana kita
memandang dan menyikapinya. Bukankah Allah telah menjanjikan kebaikan untuk
semua itu? Lantas mengapa kita masih merasa takut terhadap kehendakNya?
Elizabeth Kubler-Ross
dalam bukunya yang berjudul on death and
Dying menjelaskan tentang tahapan manusia dalam menghadapi kematian
ditinjau dari perspektif psikologi. Menurutnya ada lima
reaksi akibat dari tragedi kematian, antara lain adalah Denial, anger, bargaining, dan
depression, acceptance. Pertama dimulai dari ‘penolakan’ akan kondisi yang
dihadapi oleh pasien itu sendiri, yaitu keadaan ketika ia tidak bisa menerima
jika dirinya yang akan mengalami tragedi yang paling menakutkan yaitu kematian.
Pada saat pertahanan dan kepercayaan dirinya runtuh, pasien mulai mengalami
fase ‘kemarahan’. Pada fase ini
pasien tidak bisa mengontrol dirinya karena belum bisa menerima kenyataan bahwa
ia akan menghadapi sakaratul maut. Menurut pasien hal tersebut seharusnya tidak
terjadi padanya dan ia pun terus bertanya, ‘mengapa itu harus dia’ dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang terus dilontarkan karena kemarahannya. Berdasarkan
beberapa pertanyaan yang muncul dari benak pasien lalu terjadi fase
‘tawar-menawar’. Dalam hal ini
pasien mulai menawarkan dirinya untuk berprilaku baik dan kematian itu bisa
dicabut atas dirinya. Meski demikian, pasien tetaplah manusia yang akan
menemukan titik di mana ia akan menyerah dan terjadilah yang namanya fase
‘depresi’. Dalam kondisi ini pasien mengalami penurunan kepercayaan diri dan
rasa akan kehilangan, lambat laun pada akhirnya ia akan ‘menerima’ kenyataan
bahwa semua orang akan menghadapi sakaratul maut.
Penelitian yang
dilakukan Ross terlihat jelas bahwa kematian sangat dihindari bahkan ditolak.
Lima fase di atas menunjukkan kekhawatiran masyarakat saat menghadapi sakratul
maut. Lantas apakah ketakutan itu hanya terjadi pada orang yang akan mengalami
sakratul maut? Lima fase tersebut ternyata juga dapat terjadi kepada orang yang akan
ditinggalkan. Awalnya mereka akan ‘menolak’ ketika mengetahui bahwa keluarga
atau kerabat dekat dari mereka akan meninggalkan mereka. Kemudian mereka ‘marah’
atas ketidakadilan yang dirasakan. Lalu terjadi tawar-menawar atas dirinya.
Selanjutnya mengalami ‘depresi’ akibat dari ketidakmampuannya dalam menghadapi
kenyataan. Pada akhirnya, ketika tragedi tersebut mengambil nyawa salah satu
dari keluarga atau kerabat dekat, lambat laun mereka akan ‘menerima’ kenyataan
bahwa semua manusia akan mengalami sakaratul maut, termasuk dirinya.
Tahapan-tahapan yang
ditawarkan oleh Ross merupakan hasil penelitiannya terhadap pasien yang akan
mengalami sakaratul maut yang mana permasalahan berawal dari ketakutan yang
dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Ross (1998) berpendapat bahwa dengan mempelajari
sikap terhadap kematian maka masyarakat dapat memperoleh kesempatan berdamai
yaitu berdamai dengan luka atas kematian, baik kematian dirinya sendiri maupun
kematian keluarga.
Manusia harus
membentengi diri secara psikologis dengan berbagai cara untuk mengimbangi
semakin meningkatnya ketakutan akan kematian dan semakin menurunnya kemampuan
untuk memperkirakan serta melindungi diri dari kehancuran. Secara psikis, ia
sesaat tidak mengingkari kenyataan tentang kematiannya. Karena secara tidak
sadar kita tidak mengakui kematian kita dan mengakui keabadian, namun kita
mengakui kematian orang lain, berita-berita tentang jumlah orang yang tewas
dipertempuran, peperangan, di jalan raya hanya akan mendukung kepercayaan bahwa
- sadar kita akan kekekalan kita dan mendukung untuk bergmbira - di kedalaman
alam bawah - sadar kita - bahwa itu terjadi pada “orang lain, bukan aku.”
(Ross, 1998: 17)
Masyarakat cenderung tidak mengakui
kematian dirinya sendiri karena selama ini mereka hanya dapat menvisualisasikan
kematian orang lain tanpa pernah merasakan kematian hinggap pada tubuh mereka
sendiri. Ketika kematian menghampiri maka saat itulah mereka sadar akan
keberadaan kematian. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat modern
yaitu dengan menentangnya, seperti yang diungkapkan Ross (1998: 17) yaitu bila pengingkaran tak
mungkin lagi dilakukan, kita akan berusaha menguasai kematian dengan
menentangnya.
Apakah sekarang kita
termasuk orang yang menentang kematian? Mengapa? Apakah karena ketidaksiapan kita? Lantas apa yang harus
kita lakukan agar kita dapat menerima takdir ini?
Patricia Weenolsen
dalam bukunya yang berjudul Mati Bahagia menjelaskan bahwa dengan mempersiapkan
kematian dapat mengubah hidup kita. Ia menyebutkan ada 22 poin yang dapat diambil
dari orang yang hidup dalam kesadaran akan datangnya kematian. Dari sekian
banyak poin di atas ada beberapa poin yang dapat penulis petik (1) kesadaran
terhadap maut akan membuat kita lebih berani dalam melakukan suatu tindakan
karena kematian sudah lazim bagi kita dan semua orang akan mengalaminya,
termasuk diri kita ini. (2) ketika dokter menfonis umur yang hanya tinggal
sebentar lagi, maka saat itulah kita sadar bahwa kehidupan ini sangat lah berharga,
dengan demikian kita dapat menghargai sisa kehidupan dengan melakukan hal-hal
yang baik. (3) belajar menyusun prioritas hidup, tidak menunda-nunda pekerjaan,
dan melakukan segala sesuatu dengan hati yang riang. (4) dapat menciptakan
hubungan yang lebih baik dengan keluarga, kerabat, teman-teman, bahkan musuh
kita sekalipun. Meminta maaf dan memberikan maaf kepada orang-orang yang
memiliki hubungan tidak baik dengan kita sehingga hidup menjadi lebih damai.
(5) kesadaran kematian dapat menghantarkan kita untuk terus menjadi pribadi
yang lebih baik karena kita tahu bahwa kematian akan menghampiri kapan pun dan
dimana pun kita berada. (6) semua yang disebutkan di atas merupakan tugas
terpenting kita sebagai manusia yaitu perkembangan
rohani, agar kelak ketika maut datang kita sudah benar-benar siap untuk menghadapinya.
Kesadaran akan maut
dapat mengajari kita banyak hal seperti yang telah disebutkan di atas. Lantas
sudahkah kita menyadari itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri dalam menghadapi
kematian?
Sumber:
Forman,
Gayle. 2009. If I Stay. New York: A Pinguin
Random House Company
Curran, Charles A. 1975. “Death and Dying.
Sumber: Journal of Religion and Health”, Vol. 14, No. 4 (Oct., 1975), pp.
254-264 http://www.jstor.org/stable/27505312 (diakses 17 April 2017 pukul 10.12 WIB)
Ross,
Elisabeth Kubler. 1998. On Death and
Dying (kematian sebagai bagian kehidupan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Weenelson, Patricia. Mati Bahagia (the Art of
Dying). Jakarta: PT.Gramedia
Teringat akan pelajaran pada masa kuliah tentang 5 tahapan berduka. Kalau begini bacaannya kan lebih mudah mengertinya, dan nggk mumang kepala dibuatnya kalau harus baca teks book. Silahkan mampir juga ke rumahku kak Lisma :) www.yellsaints.com
BalasHapusHehe.. iya yelly, semoga tulisannya dapat bermanfaat buat reader :)
HapusSipppppp yelly
Kita semua akan kembali kesana
BalasHapusBener bgt dek. So? Udh siap mati belum? hahhaaaa
BalasHapusPostingan yang sangat bermanfaat.
BalasHapusKeep writing, sahabat
sharing is caring.. :)