Paulo Coelho mengatakan ’Tears are
words that need to be written’. I am
perfectly agreed with this quote. Hari ini, karena air mata yang pernah ku
teteskan, aku ingin menulis untuk mereka; ibu-ibu yang sangat luar biasa dimataku,
terutama untuk sahabatku sendiri yaitu Nurha, sekaligus mama dari anaknya yang
bernama Fatih.
Hati ini menjerit, rasanya sangat sakit, ketika Nurha
menceritakan tentang anak semata wayangnya yang divonis mengalami gangguan
pendengaran oleh sang dokter. Aku hanya melongo. Antara percaya dan tidak
dengan apa yang sedang ku dengarkan saat itu. Bagaimana tidak, Fatih yang
bermain denganku tidak terlihat mengalami kelainan, semua terlihat baik-baik
saja. Ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku saat itu, salah
satunya, “bagaimana Fatih bisa mengaji kalau ia tidak bisa mendengar?”. Rasanya
sakit berkali-kali jika mengingat pertanyaan itu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana cara Nurha mengajarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada anaknya?
Bagaimana ia mengajarkan bacaan sholat? Sholat merupakan ibadah yang paling utama, bagaimana bisa
seorang manusia hidup tanpa beribadah? Akan jadi apa ia kelak? Begitu banyak
pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Sakit yang kurasakan tidak sebanding
dengan sakitnya perasaan Nurha yang jelas-jelas ia adalah ibu kandung dari
Fatih sendiri.
Balita yang sangat tampan, lugu dan menggemaskan tiba-tiba
harus kehilangan salah satu panca indranya yaitu indra pendengaran, ketika
usianya menginjak 1 tahun 8 bulan. Secara kasat mata, Fatih memang terlihat
seperti anak-anak pada umumnya; bermain, tertawa, loncat sana sini, menangis,
dan merengek jika sesuatu yang diinginkannya tidak terpenuhi. Tidak ada
perbedaan yang menonjol, bahkan awalnya kedua orangtua Fatih tidak menyadari
bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran. Suatu ketika Nurha merasa curiga
karena Fatih belakangan sering tidak menoleh ketika dipanggil. Nurha
memberitahu suaminya tentang kecurigaannya itu, namun sang suami hanya
mengatakan bahwa sang anak hanya sedang asik bermain dan memiliki sifat acuh
tak acuh, menurutnya itu hal yang wajar. Nurha masih tetap penasaran dan
memutuskan untuk membawa Fatih ke dokter THT. Dokter mengatakan Fatih tidak sakit
parah, hanya mengeluarkan cairan dari belakang gendang telinganya. Kemudian Nurha
menerima resep dokter dan memberikan obat tersebut kepada anaknya.
Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter, kondisi
Fatih tidak kunjung membaik, ia bahkan sering mengalami sakit. Akhirnya Nurha
memutuskan untuk pindah ke dokter THT yang lain, namun hasilnya tetap saja sama,
sehingga dirujuk ke rumah sakit umum untuk melakukan tes BERA (Brainstem Evoked
Response Audiometry). Tes BERA menunjukkan hasil bahwa fatih memiliki jangkauan
pendengaran 95 desibel telinga kiri dan 100 desibel (Db) telinga kanan, artinya
di atas angka rata-rata yaitu 0-20 Db untuk orang normal. Nurha dan suami tidak
bisa menerima kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran. Dengan
beriringnya waktu, Nurha akhirnya mulai bisa menerima kenyataan tersebut, namun
tidak dengan suaminya. Kendati demikian, Nurha tetaplah seorang istri yang
harus mendengarkan suaminya. Mereka mengobati Fatih dengan berbagai cara,
termasuk pengobatan tradisional. Hampir setahun tidak memiliki hasil yang
signifikan, akhirnya Nurha bersikeras untuk kembali ke perawatan medis. Mereka
membawa Fatih ke Kuala Lumpur untuk melakukan tes BERA kembali. Hasilnya
semakin memburuk; hasil tes menunjukkan bahwa fatih memiliki jangkauan
pendengaran 100 Db telinga kiri dan 100 Db telinga kanan. Suami Nurha masih
tetap sama, antara percaya dan tidak dengan kenyataan bahwa anaknya harus
menerima perawatan khusus. Nurha sangat sedih dan tertekan. Ia sendiri seakan
masih belum percaya, namun ia dituntut untuk lebih kuat dan harus meyakinkan
suaminya dengan kondisi yang dialami Fatih. Sebagai seorang ibu yang telah
melahirkan Fatih, tentunya Nurha sangat menginginkan kesembuhan pada anaknya.
Disisi lain, suaminya masih antara percaya dan tidak. Bagaimana hatinya tidak
menjerit dengan semua yang dialaminya? Walau begitu, bibirnya masih tetap merekah
walau hati menangis sejadi-jadinya.
Umur Fatih semakin bertambah dan tentunya komunikasinya juga
ikut terganggu. Akhirnya Nurha (dengan izin suaminya) memutuskan agar Fatih harus
melakukan implan koklea dan saat itu lah (umur Fatih kurang lebih 3 tahun)
Fatih dinyatakan sebagai kandidat implan AB (Advanced Bionics). Namun sebelum
melakukan operasi, banyak hal yang harus dipersiapkan seperti pemeriksaan
darah, CT Scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), vaksinasi, dll. Pemeriksaan
pra implan juga membutuhkan waktu, sehingga tidak langsung bisa di operasi.
Oleh karena itu, sebaiknya deteksi dini dilakukan agar segera mendapatkan
intervensi, sehingga tindakan berikutnya dapat dilakukan dengan cepat agar
membantu anak mengenal suara, seperti memasang ABD (Alat Bantu Dengar) kepada pasien
guna memberikan stimulus pada saraf pendengarannya. Jika tidak maka akan
berdampak pada komunikasi sang anak, yaitu keterlambatan dalam berbicara.
Kini Fatih sedang menunggu jadwal untuk operasinya.
Pemasangan implan koklea hanya merupakan salah satu alternatif alat bantu
dengar untuk mengganti fungsi rumah siput sebagai organ pendengaran. Setelah
pemasangan implan koklea ini, bukan berarti mereka sudah dapat mendengar
seperti pada telinga normal, namun suara yang dihasilkan oleh alat tersebut
tentunya berbeda dengan bunyi yang kita dengarkan. Misalnya, ketika seseorang
mengucapkan kata ‘bahasa’, kita yang memiliki pendengaran normal akan
mendengarkan ‘bahasa’, namun mereka yang memiliki gangguan pendengaran yang
menggunakan implan koklea akan mendengar ‘ahasa’. Oleh karena itu, anak yang
memiliki gangguan pendengaran tentunya harus terbiasa dengan ‘kosakata’, bahkan
harus diulang berulang kali kata yang sama untuk membantu mereka agar dapat berkomunikasi
dengan baik. Ini merupakan tugas besar bagi kedua orangtua Fatih dalam mendampingi
sang anak. Jika orangtua lengah dan lambat, maka resiko terbesarnya adalah anak
akan lambat dalam mengenal bahasa, artinya mereka akan mengalami masalah dalam
berkomunikasi.
Ibu merupakan pendidikan utama bagi anak, tidak terkecuali
anak yang mengalami gangguan pendengaran. Tentunya mereka memiliki ibu yang
lebih dari anak-anak pada umumnya. Ibu yang harus selalu siap siaga. Ibu yang harus
selalu menemani anak lebih dari waktu yang dimiliki sang ayah. Ibu yang harus selalu
menjadi teman bermain mereka. Ibu yang harus mengenalkan mereka bahasa
(mengajarkan bahasa pada anak gangguan pendengaran tentunya lebih rumit dari
pada mengajarkan bahasa kepada anak-anak pada umumnya). Ibu yang harus selalu
tersenyum walau hati tak kunjung bersahabat. Ibu yang harus selalu siap
menerima kondisi anaknya. Mereka lah ibu-ibu super yang tidak pernah kenal
lelah. Kenapa saya selalu menyisipkan kata ‘harus’ pada pekerjaan si ibu?
Karena seberat itulah beban yang mereka pikul, sehingga mereka sangatlah
berkesan di mata saya.
Nurha hanyalah salah satu ibu super yang pantang menyerah. Masih
banyak ibu-ibu lainnya yang merasakan hal serupa (sedih, bingung, kesal, dll) dan
mereka adalah wanita-wanita hebat yang mampu melalui ini semua dengan senyuman.
Aku bangga kepada kalian semua. Teruslah tersenyum, untuk mereka anak-anak
kita, penerus masa depan.
BERSAMBUNG……..
*Ini merupakan tulisan pertama. Tulisan selanjutnya,
sambungan dari tulisan ini, saya akan menuliskan tentang deteksi dini pada anak
gangguan pendengaran. Kemudian pada tulisan ketiga saya akan menulis tentang komunikasi
verbal. SELAMAT MEMBACA :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar