Minggu, 13 Mei 2018

SUPER MOM


Paulo Coelho mengatakan ’Tears are words that need to be written’. I am perfectly agreed with this quote. Hari ini, karena air mata yang pernah ku teteskan, aku ingin menulis untuk mereka; ibu-ibu yang sangat luar biasa dimataku, terutama untuk sahabatku sendiri yaitu Nurha, sekaligus mama dari anaknya yang bernama Fatih.

Hati ini menjerit, rasanya sangat sakit, ketika Nurha menceritakan tentang anak semata wayangnya yang divonis mengalami gangguan pendengaran oleh sang dokter. Aku hanya melongo. Antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang ku dengarkan saat itu. Bagaimana tidak, Fatih yang bermain denganku tidak terlihat mengalami kelainan, semua terlihat baik-baik saja. Ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku saat itu, salah satunya, “bagaimana Fatih bisa mengaji kalau ia tidak bisa mendengar?”. Rasanya sakit berkali-kali jika mengingat pertanyaan itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara Nurha mengajarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada anaknya? Bagaimana ia mengajarkan bacaan sholat? Sholat merupakan  ibadah yang paling utama, bagaimana bisa seorang manusia hidup tanpa beribadah? Akan jadi apa ia kelak? Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Sakit yang kurasakan tidak sebanding dengan sakitnya perasaan Nurha yang jelas-jelas ia adalah ibu kandung dari Fatih sendiri.

Balita yang sangat tampan, lugu dan menggemaskan tiba-tiba harus kehilangan salah satu panca indranya yaitu indra pendengaran, ketika usianya menginjak 1 tahun 8 bulan. Secara kasat mata, Fatih memang terlihat seperti anak-anak pada umumnya; bermain, tertawa, loncat sana sini, menangis, dan merengek jika sesuatu yang diinginkannya tidak terpenuhi. Tidak ada perbedaan yang menonjol, bahkan awalnya kedua orangtua Fatih tidak menyadari bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran. Suatu ketika Nurha merasa curiga karena Fatih belakangan sering tidak menoleh ketika dipanggil. Nurha memberitahu suaminya tentang kecurigaannya itu, namun sang suami hanya mengatakan bahwa sang anak hanya sedang asik bermain dan memiliki sifat acuh tak acuh, menurutnya itu hal yang wajar. Nurha masih tetap penasaran dan memutuskan untuk membawa Fatih ke dokter THT. Dokter mengatakan Fatih tidak sakit parah, hanya mengeluarkan cairan dari belakang gendang telinganya. Kemudian Nurha menerima resep dokter dan memberikan obat tersebut kepada anaknya.

Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter, kondisi Fatih tidak kunjung membaik, ia bahkan sering mengalami sakit. Akhirnya Nurha memutuskan untuk pindah ke dokter THT yang lain, namun hasilnya tetap saja sama, sehingga dirujuk ke rumah sakit umum untuk melakukan tes BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry). Tes BERA menunjukkan hasil bahwa fatih memiliki jangkauan pendengaran 95 desibel telinga kiri dan 100 desibel (Db) telinga kanan, artinya di atas angka rata-rata yaitu 0-20 Db untuk orang normal. Nurha dan suami tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran. Dengan beriringnya waktu, Nurha akhirnya mulai bisa menerima kenyataan tersebut, namun tidak dengan suaminya. Kendati demikian, Nurha tetaplah seorang istri yang harus mendengarkan suaminya. Mereka mengobati Fatih dengan berbagai cara, termasuk pengobatan tradisional. Hampir setahun tidak memiliki hasil yang signifikan, akhirnya Nurha bersikeras untuk kembali ke perawatan medis. Mereka membawa Fatih ke Kuala Lumpur untuk melakukan tes BERA kembali. Hasilnya semakin memburuk; hasil tes menunjukkan bahwa fatih memiliki jangkauan pendengaran 100 Db telinga kiri dan 100 Db telinga kanan. Suami Nurha masih tetap sama, antara percaya dan tidak dengan kenyataan bahwa anaknya harus menerima perawatan khusus. Nurha sangat sedih dan tertekan. Ia sendiri seakan masih belum percaya, namun ia dituntut untuk lebih kuat dan harus meyakinkan suaminya dengan kondisi yang dialami Fatih. Sebagai seorang ibu yang telah melahirkan Fatih, tentunya Nurha sangat menginginkan kesembuhan pada anaknya. Disisi lain, suaminya masih antara percaya dan tidak. Bagaimana hatinya tidak menjerit dengan semua yang dialaminya? Walau begitu, bibirnya masih tetap merekah walau hati menangis sejadi-jadinya.

Umur Fatih semakin bertambah dan tentunya komunikasinya juga ikut terganggu. Akhirnya Nurha (dengan izin suaminya) memutuskan agar Fatih harus melakukan implan koklea dan saat itu lah (umur Fatih kurang lebih 3 tahun) Fatih dinyatakan sebagai kandidat implan AB (Advanced Bionics). Namun sebelum melakukan operasi, banyak hal yang harus dipersiapkan seperti pemeriksaan darah, CT Scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), vaksinasi, dll. Pemeriksaan pra implan juga membutuhkan waktu, sehingga tidak langsung bisa di operasi. Oleh karena itu, sebaiknya deteksi dini dilakukan agar segera mendapatkan intervensi, sehingga tindakan berikutnya dapat dilakukan dengan cepat agar membantu anak mengenal suara, seperti memasang ABD (Alat Bantu Dengar) kepada pasien guna memberikan stimulus pada saraf pendengarannya. Jika tidak maka akan berdampak pada komunikasi sang anak, yaitu keterlambatan dalam berbicara.

Kini Fatih sedang menunggu jadwal untuk operasinya. Pemasangan implan koklea hanya merupakan salah satu alternatif alat bantu dengar untuk mengganti fungsi rumah siput sebagai organ pendengaran. Setelah pemasangan implan koklea ini, bukan berarti mereka sudah dapat mendengar seperti pada telinga normal, namun suara yang dihasilkan oleh alat tersebut tentunya berbeda dengan bunyi yang kita dengarkan. Misalnya, ketika seseorang mengucapkan kata ‘bahasa’, kita yang memiliki pendengaran normal akan mendengarkan ‘bahasa’, namun mereka yang memiliki gangguan pendengaran yang menggunakan implan koklea akan mendengar ‘ahasa’. Oleh karena itu, anak yang memiliki gangguan pendengaran tentunya harus terbiasa dengan ‘kosakata’, bahkan harus diulang berulang kali kata yang sama untuk membantu mereka agar dapat berkomunikasi dengan baik. Ini merupakan tugas besar bagi kedua orangtua Fatih dalam mendampingi sang anak. Jika orangtua lengah dan lambat, maka resiko terbesarnya adalah anak akan lambat dalam mengenal bahasa, artinya mereka akan mengalami masalah dalam berkomunikasi.

Ibu merupakan pendidikan utama bagi anak, tidak terkecuali anak yang mengalami gangguan pendengaran. Tentunya mereka memiliki ibu yang lebih dari anak-anak pada umumnya. Ibu yang harus selalu siap siaga. Ibu yang harus selalu menemani anak lebih dari waktu yang dimiliki sang ayah. Ibu yang harus selalu menjadi teman bermain mereka. Ibu yang harus mengenalkan mereka bahasa (mengajarkan bahasa pada anak gangguan pendengaran tentunya lebih rumit dari pada mengajarkan bahasa kepada anak-anak pada umumnya). Ibu yang harus selalu tersenyum walau hati tak kunjung bersahabat. Ibu yang harus selalu siap menerima kondisi anaknya. Mereka lah ibu-ibu super yang tidak pernah kenal lelah. Kenapa saya selalu menyisipkan kata ‘harus’ pada pekerjaan si ibu? Karena seberat itulah beban yang mereka pikul, sehingga mereka sangatlah berkesan di mata saya.

Nurha hanyalah salah satu ibu super yang pantang menyerah. Masih banyak ibu-ibu lainnya yang merasakan hal serupa (sedih, bingung, kesal, dll) dan mereka adalah wanita-wanita hebat yang mampu melalui ini semua dengan senyuman. Aku bangga kepada kalian semua. Teruslah tersenyum, untuk mereka anak-anak kita, penerus masa depan.


BERSAMBUNG……..

*Ini merupakan tulisan pertama. Tulisan selanjutnya, sambungan dari tulisan ini, saya akan menuliskan tentang deteksi dini pada anak gangguan pendengaran. Kemudian pada tulisan ketiga saya akan menulis tentang komunikasi verbal. SELAMAT MEMBACA :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar