Sabtu, 11 November 2017

Jomblo Itu Pilihan

Hello buddy.. long time no see yaa..

Tiba-tiba saja pingin menulis. Rencana hendak menulis teori yang baru saja dibahas tadi pagi bersama mahasiswa. Akan tetapi, setelah seharian (pergi pagi pulang sore), rasanya malam ini aku tidak sanggup untuk merangkai kata-kata indah dalam merumuskan kembali teori dekontruksi Derrida yang bikin garis muka tambah menua. Baiklah, mari kita lupakan sejenak tentang buku, laptop, dan tugas kampus. Semoga malam minggu berjalan dengan semestinya. Aku. Disini. Masih dengan rasa yang sama.

Jomblo itu pilihan hidup. Percaya atau tidak itu juga pilihan. Siapa bilang jomblo itu karena tidak laku? Masa sih? Di dunia ini, kita akan menemukan yang namanya C.I.N.T.A. Percaya? Percaya atau tidak itu pilihan anda. Well, saya ingin mengibaratkannya dengan sebuah botol yang diisi air penuh. Botol kita analogikan sebagai diri kita, dan air  kita analogikan sebagai bentuk dari rasa cinta. Ketika botol hanya diisi dengan air setengah, maka botol tersebut masih memiliki space untuk air yang lain. Namun ketika botol tersebut diisi penuh dan tumpah ruah, maka ia tidak memiliki tempat untuk air yang lain, bahkan ia kelebihan muatan sehingga dapat ditampung oleh botol yang lainnya. Secara psikologis, manusia membutuhkan manusia yang lain dan mendambakan yang namanya cinta. Ketika ia sudah memiliki rasa cinta yang tumpah ruah, maka ia tidak akan mencari cinta yang lain, bahkan ia dapat membagikan rasa cinta itu kepada orang lain disekelilingnya. Namun ketika manusia itu tidak memiliki rasa kasih yang cukup, maka ia akan mencarinya ke tempat yang lain untuk memenuhi hasratnya itu.

Cinta tidak hanya diperoleh dari pasangan lawan jenis, namun juga dapat diterima dari kedua orangtua, abang, adik, kakak, sahabat, guru, lingkungan dan lain sebagainya. Ketika kita sudah memiliki rasa kasih yang cukup, maka kita dapat membagikan rasa itu kepada orang lain dengan ikhlas. Misalnya, ketika kita jatuh cinta kepada lawan jenis, kita tidak perlu mengharapkan balasan kasih karena rasa cinta yang kita miliki sudah sangat banyak. Namun ketika kita masih mengharapkan balasan cinta dari pasangan dan merasa kecewa jika tidak dibalas, maka yang harus kita pertanyakan adalah, apakah selama ini kita kekurangan rasa kasih? Sehingga kita mengharapkan dan masih mendambakan rasa yang kita berikan dengan balasan yang sama. Kenapa kita sering merasakan kekecewaan jika orang yang kita cintai tidak mencintai kita? It’s such a good question.

Alright, kekecewaan hadir karena diri kita sendiri? Percaya atau tidak itu pilihan anda. Kenapa kita kecewa? Karena kita belum dapat memberikan rasa cinta dengan ikhlas kepada orang yang kita cintai. Misalnya, ketika kita berbuat baik kepada orang lain dengan ikhlas, maka kita tidak akan merasakan kecewa ketika orang lain tersebut tidak membalas kebaikan kita. Namun ketika kita berbuat baik kepada orang lain dan mengharapkan balasan yang sama, maka kita akan kecewa ketika orang tersebut tidak dapat membalasnya. Sama halnya dengan mencintai lawan jenis. Ketika kita mencintai seseorang dengan ikhlas tanpa mendambakan balasan, maka kita tidak akan merasa kecewa ketika cinta kita tidak terbalaskan. Namun ketika kita mencintai seseorang dengan mengharapkan balasan, maka kekecewaan akan melanda diri kita. Nah kembali lagi ke masalah awal. Kapan kita dapat memberikan rasa cinta dengan ikhlas? Ketika kita memiliki rasa kasih yang cukup. Sebaliknya, kita tidak dapat membagikan rasa kasih dengan ikhlas ketika diri kita sendiri belum memiliki rasa cinta yang cukup. Oleh karena itu, mari bertanya kepada diri sendiri, apakah botol milik kita sudah terisi penuh dengan rasa kasih?

Jadi apa hubungannya jomblo dan rasa kasih? Ada banyak alasan kenapa kita memilih untuk jomblo, diantaranya:


1. Merasa sudah memiliki rasa kasih yang tak terhingga
2. Secara agama, pacaran tidak ada dalam Islam
3. Pacaran dapat menganggu kuliah (lagi ngambek sama pacar, perasaan tidak karuan, malas kuliah, malas buat tugas, malas makan akhirnya sakit, dll)
4. Orangtua tidak memberikan izin kepada anaknya untuk berpacaran
5. Terlalu asik hidup sendiri dan merasa tidak butuh orang lain (individualist)
6. Pernah disakiti dan memutuskan untuk tidak berpacaran lagi
7. Dan lain sebagainya.

Alasan di atas hanya segelintir sebab mengapa kita memilih untuk hidup sendiri (hidup sendiri sebelum menikah). Salah satu hubungannya ada pada poin pertama. Ketika kita sudah memiliki rasa kasih yang cukup, maka kita tidak mengharapkan rasa itu terbalaskan, kita akan lebih bersabar dalam menunggu waktu yang tepat untuk memiliki pasangan yang halal. Cinta kepada lawan jenis merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada kita semua. Oleh karena itu, tetap menjaga rasa itu hingga waktu yang telah ditetapkanNya.

Nah, selagi menunggu rasa itu menjadi halal, ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi, agar kelak orang yang berani menghalalkan kita merasa bangga memiliki diri kita dengan seutuhnya. Kedua, kita dapat berbakti kepada orang tua. It’s time for you to be the best son/daughter ever. Apakah kita pernah berpikir bagaimana orangtua sudah membesarkan kita dengan susah payah? Nah sekarang giliran kita yang gentian merawat mereka. Selagi masih sendiri, kita belum memiliki tanggungjawab kepada orang lain, ada baiknya menjaga dan merawat orangtua. Setelah menikah dan punya anak, belum tentu kita memiliki kesempatan untuk merawat mereka seperti saat kita masih single. Itu akan terasa berbeda karena kita memiliki tanggungjawab yang lain, yaitu sebagai istri dan ibu (jika kita perempuan), sebagai ayah dan suami (jika kita laki-laki). Namun sedikit berbeda dengan laki-laki, sampai kapan pun laki-laki memiliki tanggungjawab terhadap kedua orangtuanya. Ketiga, kita tidak perlu membuat laporan. Kamu dapat melakukan aktivitas apapun yang kamu inginkan tanpa harus meminta izin dan melapor kepada pacar. Tidak ada gunanya meminta izin kepada pacar (emang dia orangtuamu?) karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa dia lah yang akan menjadi jodoh kita kelak. Apa jadinya ketika kita sudah memberitahukan semua tentang kita, bahkan aib kita sendiri, namun pada akhirnya dia bukan lah takdir kita? Mau gantung diri di pohon cabe? Silahkan saja. Keempat, kita dapat mengwujudkan mimpi-mimpi yang telah kita ukir. Punya impian untuk menjadi pengusaha? Atau menjadi seorang arsitek yang keren? Atau pingin keliling dunia? Kasian kalau dianggurin. Selagi masih single dan belum memiliki beban hidup yang berat, kenapa nggak merencanakan sesuatu yang dapat menghasilkan apa yang kita inginkan? Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak jalan juga untuk meraih kesuksesan diri. Jika berani bermimpi maka harus berani untuk menaklukkan segala rintangan yang ada. Apapun itu, hanya diri kita yang lebih mengetahui. Kelima, kita dapat bersenang-senang dengan teman-teman. Ketika sudah menikah dan memiliki anak, tentunya ruang untuk kita sendiri sudah lebih sempit karena kita memiliki tanggungjawab yang berbeda. Jika saat kuliah kita hanya memiliki tanggungjawab untuk belajar, namun ketika sudah menikah kita tidak hanya bertanggungjawab untuk belajar (menjadi ibu dan istri yang baik), namun juga memiliki tanggungjawab untuk menjaga dan mendidik anak-anak kita. Nah, apakah kita bisa hahahihi seperti sekarang? Tentu bisa namun intensitasnya yang berkurang.

Nah, sekarang apakah kita masih merasa rugi menjadi jomblo sebelum menikah? Ada banyak hal yang harus kita pikirkan dan kita kerjakan. So? Jangan asik mikirin kapan aku punya pacar, tapi pikirkan, kapan kita dapat mengwujudkan apa yang kita inginkan sebelum pangeran berkuda putih datang menjemput. Bukankah jomblo sebelum menikah itu pilihan?


Sabtu, 11 November 2017, pukul 10.57



Tidak ada komentar:

Posting Komentar