Sumber: http://shadowness.com/kenrozeken/iu |
Setiap penulis mempunyai cara
masing-masing dalam menorehkan pengalaman hidup dalam bentuk karya sastra. Melihat,
mendengar, dan merasakan adalah cara mereka dalam mengamati suatu objek yang
akan dituliskan. Dalam hal ini, sama halnya dengan Willibrordus Surendra Broto
Rendra, ia mengamati kehidupan sosialnya dan kemudian menciptakan puisi yang
berjudul ‘Nyanyian Angsa’. Dalam puisinya Rendra mencoba menerapkan kritik
sosial yang cukup tinggi dengan mengangkat isu sosial tentang seorang pelacur
tua yang bertaubat diakhir hidupnya.
Sebelum membahas kritik sosial yang
disampaikan Rendra dalam puisinya, saya ingin sedikit menyorot konsistensi pengarang
dalam menyampaikan kritik kepada pembaca. Tokoh Maria Zaitun yang diciptakan
Rendra menunjukkan relasi antara Tuhan dan Maria sendiri yang mana Rendra
menggambarkan Maria sebagai wanita yang ingin bertaubat sebelum ia meninggal.
Namun disini saya melihat Rendra tidak meletakkan tekad konsisten pada tokohnya
yang mana masih harus dipertanyakan, apakah Maria benar-benar ingin bertaubat?
Jika ia mengapa ia sendiri belum mempunyai keyakinan atas Tuhannya itu seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut:
“Dan saya mau
mati.
Sekarang saya
takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Pada kutipan di atas menggambar
makhluk Tuhan yang begitu takut akan kematian. Disana ia mengungkapkan butuh
sosok Tuhan, namun ia sendiri tidak yakin akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya
sehingga mengatakan “Apa saja untuk menemani saya”. Yang menjadi pertanyaannya,
apakah benar Maria datang ke Gereja untuk bertaubat atau hanya ingin meminta
pertolongan agar ada yang menemaninya saat ia mati.
Selanjutnya, pada baris ke 181 Maria
mengeluarkan kata-kata makian yaitu “Bedebah” yang artinya celaka. Perkataan
itu ia lontarkan setelah dua jam beranjak dari Gereja. Jika ia berniat
bertaubat dan takut akan kematian, semestinya ia terus meminta ampun kepada
Tuhan disetiap detik udara yang dihirupnya, bukan dengan cara mengeluarkan kata
kotor dari mulutnya itu. Kembali muncul pertanyaan, apakah benar tokoh yang
diciptakan Renda sebagai pelacur ini berniat untuk taubat?
Kemudian, pada baris ke 275 Rendra menggambarkan
kepasrahan Maria saat dicium dan dicumbu oleh lelaki yang tidak dikenalnya,
bahkan ia sangat menikmatinya. Sebelum saya membaca baris selanjutnya, saya
berasumsi jika Maria kembali menjadi pelacur dengan menyerahkan diri kepada
lelaki itu. Lagi-lagi pertanyaan mucul, apa benar Maria sudah benar-benar
bertaubat? Jika benar adanya, mengapa ia masih mengizinkan lelaki itu untuk
bercumbu dengannya sedangkan Maria sendiri belum menyadari bahwa ia sudah di
surga, seperti dalam kutipan berikut:
Maria Zaitun
menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia
terhenti.
Ia jumpai
bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung
kiri.
Di dua tapak
tangan.
Di dua tapak
kaki.
Maria Zaitun
pelan berkata:
“Aku tahu
siapa kamu.”
Lalu memeluk
lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu
menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
Dalam kutipan di atas terlihat jelas
bagaimana Maria menikmati perannya sebagai seorang pelacur. Tiba-tiba ia berhenti
karena terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ketika itu ia sadar bahwa ia sudah
berada di surga. Pertanyaan terakhir, pantaskah seorang pelacur yang tidak
benar-benar bertaubat masuk surga dalam agama khatolik? Jawabannya tentu saja
tidak karena setiap agama itu suci dan hanya orang-orang yang beriman yang
berhak masuk surga seperti yang dikatakan Tuhan dalam KitabNya.
Dari beberapa contoh yang sudah saya
uraikan di atas, Rendra sepertinya tidak konsisten dengan karakter tokoh yang
diciptakannya sendiri. Ia ingin menggambarkan seorang pelacur yang ingin
bertaubat dan kemudian masuk surga, namun karakter itu tidak sempurna sehingga
menjadi tanda tanya besar bagi pembaca pada umumnya dan bagi saya sendiri pada
khususnya.
Beranjak pada kritik terhadap
pengarang, saya ingin memaparkan beberapa kritik yang disampaikan Rendra dalam puisinya.
Pertama, Rendra melemparkan kritiknya terhadap lembaga kesehatan yang
semena-mena dalam memberikan pertolongan kepada pasiennya. Disini dijelaskan
bahwa Maria mengidap penyakit Sipilis dan jantung namun dokter hanya menyuruh
perawat untuk memberikannya Vitamin C dikarenakan Maria adalah masyarakat
miskin yang tidak sanggup membayar rumah sakit. Disini terlihat jelas jika
lembaga tersebut membedakan makhluk ciptaan Tuhan dari segi material. Mereka
hanya akan membantu orang-orang yang mempunyai banyak uang dan mampu membayar
dokter, namun rakyat miskin hanya dipandang sebelah mata saja.
Kritik selanjutnya yang disampaikan
Rendra adalah mengenai lembaga agama. Pertama saya menemukan kalimat sebagai
berikut: “Pintu gereja telah di kunci. Karena khawatir akan pencuri.” Dalam hal
ini Rendra ingin bertanya kepada lembaga keagamaan, mengapa tempat ibadah harus
di kunci, bukankah setiap orang bebas kapan saja berdoa di Gereja? Mengapa juga
lembaga keagamaan harus khawatir akan pencuri, bukankah ada Tuhan yang akan
selalu menjaganya. Dan mereka juga bisa menyewa security untuk keamanan tanpa adanya alasan Gereja harus dikunci
demi keamanan.
Demikian kritik sosial yang
disampaikan Rendra dalam puisinya yang berjudul “Nyanyian Angsa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar