Rabu, 01 Oktober 2014

Kehidupan Imajiner


Sejenak pikiranku kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu, tepatnya ketika aku dan Ifa (temanku) sedang berjalan kaki menuju kos-kosan, namun sejenak kami berhenti di suatu tempat untuk mengambil beberapa gambar. Disana duduk empat siswa SMA yang masih lengkap dengan seragam sekolah.  Dua orang siswi sedang bercakap-cakap sambil memainkan telpon genggam milik mereka.  Kira-kira jarak 5 cm dari tempat mereka duduk, ada seorang siswa sedang membujuk seorang siswi yang lagi marah dan menangis, sepertinya itu pacarnya. Dengan halus dan lembut siswa tersebut bertutur kepada sang pujaan hati, namun cewek tersebut terus mengeluarkan butiran suci dari sudut ekor matanya, sesekali menyekanya. Cowok itu pun membantu mengusap air mata dari pipi dara manis yang memiliki rambut sebahu itu.

Beberapa saat kemudian, seorang siswi lain yang duduk bersama temannya tadi mendekati mereka. Tak begitu jelas apa yang sedang mereka bicarakan karena mereka berbicara dalam Bahasa Jawa, dan aku pun asik dengan pekerjaan ku yaitu narsisan di depan kamera bersama Ifa, walau pikiranku masih berada diantara siswa-siswi itu. 

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang sedang aku saksikan, aku seperti berada di dalam novel yang sering ku baca saat aku remaja dulu.  Well.. mungkin ini wajar karena aku tidak pernah merasakan kehidupan luar sejak aku memasuki Sekolah Menengah Pertama sampai aku menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, karena aku tinggal di penjara. Aku tidak begitu mengerti dengan kehidupan asmara remaja-remaja di luar, yang aku tau kehidupan mereka begitu bewarna, seperti yang terdapat dalam novel-novel Teenlit yang biasa ku konsumsikan ketika waktu luang.

Aku melihat kejadian itu bak adegan nyata dari novel-novel yang telah ku kunyah beberapa tahun yang lalu. Kini, aku tak lagi berada dalam kehidupan novel-novel itu, aku tak lagi sedang berimajinasi, aku hidup dikehidupan nyata, aku menyaksikan langsung cerita-cerita yang mengalir dalam novel-novel itu. Mereka bukan lagi imajinasiku, mereka sedang memainkan drama yang begitu indah. Tanpa teks. Tanpa penulis. Tanpa penerbit. Bahkan mereka tidak membutuhkan pembaca.

Hari inilah pertama kalinya aku menyaksikan asmara diantara remaja-remaja yang biasanya hanya bermain di dalam fiksi populer. Namun demikian, aku merasa bangga bisa menghabiskan masa remajaku dalam asrama, karena tak semua orang punya kesempatan emas seperti yang aku rasakan.  Walau tak boleh ada ikatan yang namanya PACARAN, namun aku juga bisa merasakan bagaimana berbagi layaknya keluarga sendiri dengan mereka lawan jenis. Tak ada perbedaan disana, hanya ada dukungan untuk saling bangkit, mengejar mimpi dimasa depan. Laki-laki dan perempuan sama saja, mereka adalah tinta yang terus mewarnai hidupku, hingga akhirnya aku tau wujud warna asliku tanpa harus mencari dalam gelapnya kehidupan luar. Mereka lah SAHABATKU dulu dan kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar