Selasa, 13 Desember 2011

Nasib Penjual Es Melodi


Senyumku mekar saat ku dapati sekelompok anak manusia sedang berjualan es melodi. Mereka tak lain adalah anggota UKM Pers DETaK yang sedang mengalang dana (26/6/2011). Perasaan aneh menyelimutiku. Aku tak tau perasaan apakah itu. Apakah itu perasaan sedih? Terharu? Atau bahkan bangga bisa memiliki mereka sebagai sahabat baikku. Canda tawa silih berganti, tapi aku heran, mengapa tak satupun yang membeli es melody ala kedai DETaK. Ku lihat kawan-kawan yang lain mulai membeli dan menikmati es segar itu. “tawar” ucap salah satu diantara mereka. Aku tak hanya tersenyum tapi tertawa mendengar kata-kata itu. Lalu aku juga memutuskan untuk ikut menikmati es yang terbuat dari campuran buah itu. Ternyata memang benar. “tawar” gumamku. Beberapa kawan yang lain juga ikutan membeli. Akhirnya es melody dibeli oleh penjualnya sendiri. Aneh.

Beberapa saat kemudian dua makhluk Tuhan yang berprofesi sama dengan kami datang menghampiri. Mereka adalah penjual kerupuk keliling. Mereka mengajak tukaran barang dangangan, mereka dapat satu gelas es melody dan kami dapat satu bungkus kerupuk, tapi kami tidak bisa menerima permintaan mereka. Mereka pun hanya membeli beberapa puding saja untuk dinikmati siang itu. Setelah makan puding sambil berbagi pengalaman, salah satu diantara mereka membantu kami berjualan. Ia membawa keliling puding yang sedang kami jual. Aku mengekorinya dari belakang. Ternyata laku banyak. Begitulah cara mereka berjualan. Sedikit beramah-tamah dengan pembeli dan harus selalu mengembangkan senyum termanis. Yeah, I got the point!

Alunan ayat suci Al-Qur’an mulai mengalun indah dari mikrofon Mesjid Raya Baiturrahman. Kami yang berada dalam pekarangan tersebut tentunya mendengar suara merdu itu. Dua penjual kerupuk tadi pun beranjak pergi ketika suara azan mulai berkumandan. Beberapa kawan yang lain juga mulai meninggalkan area jualan untuk shalat berjamaah. Disana hanya ada aku, Rahma, Ijur, Sulis dan Sammy. Dua lelaki itu juga berniat untuk shalat tapi langkah mereka terhenti ketika seorang petugas mesjid mendatangi kami dengan bermuka bringas seolah-olah ingin menerkam siapa saja yang ada di sana saat itu. Dengar azan kan? Kenapa masih jualan? kenapa jualan disini? Mana surat izinnya? Begitu banyak pertanyaan yang dilemparkannya. “kalian muslim apa bukan? Masa jualan dipekarangan mesjid,” Ucap si petugas.“ Sammy dan Sulis pun angkat bicara. Suasana pun menjadi tidak enak, tak hanya petugas terbawa emosi, Sammy dan Sulis juga ikut emosi mendengar cacian petugas itu. Ku akui, orangnya emang putih dan ganteng tapi sayang omongannya seperti tak berpendidikan. Debat mulut pun terjadi. Aku juga ikutan terpancing emosi mendengar perkataannya yang mulai menjadi-jadi. Tanpa peringatan, tanpa basa-basi ia datang dan langsung marah begitu saja pada kami. Apa ia tak bisa melihat wajah polos dan ketidakmengertian kami? Andai saja aku mengerti dengan peraturan seperti itu, rasanya aku juga tidak gila untuk berjualan disana. Emosiku pada saat ini benar-benar meluap. Ingin sekali rasanya ku cabut giginya satu persatu, ku jepit hidungnya dengan penjepit kuku raksasa dan ku congkel matanya untuk ku jadikan umpan pancing ayahku.

Beberapa menit kemudian petugas itu pun berhenti berkokok. Ia menelpon petugas keamanan lainnya. Sammy dan Sulis minta izin untuk shalat terlebih dahulu dan akan menyelesaikan masalah ini setelah menghadap sang pencipta. Tapi tiba-tiba seorang petugas lainnya pun datang. Mereka tidak menunggu Sammy dan Sulis kembali. Mereka langsung menyelesaikan masalah ini dengan tiga perempuan yang tak lain adalah aku, Rahma dan Ijur. Tiap kali si petugas yang memiliki hidung mancung itu berbicara rasanya dadaku panas, ingin sekali ku cakar muka gantengnya itu agar sama jeleknya dengan perkataannya. Untungnya si petugas satu lagi berbicara sedikit pelan dan tidak terbawa emosi. “kenapa berjualan disini? Dah buat lapak lagi,” ucap si petugas satunya. “Maaf pak, kami nggak tau nggak boleh jualan disini, karena liat banyak orang jualan disini kami juga ikutan jualan,” jawabku polos. Perdebatan kecil pun terjadi, tapi kali ini aku tak terbawa emosi karena si petugas yang satu ini mengeluarkan kata-kata yang sedikit enak untuk didengar, tapi jika si petugas berbadan tegap tadi mulai angkat bicara rasanya ingin ku cabik-cabik dagingnya. “Kami tak ingin berdebat, kalian kan mahasiswa, seharusnya lebih mengertilah,” ucap si petugas satunya sambil menyurutkan langkahnya. “Iya pak, kami juga nggak ingin berdebat, masalahnya kami memang nggak tau peraturannya begitu,” jawabku. Si petugas ganteng itu yang tak sempat ku tanya namanya pun menyahut lagi. Aku pun terpancing emosi lagi. Aku benar-benar gila melihatnya. “ya udah sekarang nggak boleh jualan disini lagi, masa jualan dipekarangan mesjid,” ucapnya lagi. “Kami emang benar-benar nggak tau pak nggak boleh jualan disini, tapi maaf pak saya sangat sakit hati dengan teman bapak ini, datang langsung marah-marah, mestinyakan dia kan bisa ngomong baik-baik dulu, kenapa harus marah-marah coba? kalau pun kami tau, kami juga nggak akan berjualan disini pak,” jelasku. Beberapa menit kemudian perdebatan pun terhenti. Mereka meninggalkan kami. Rasanya begitu berat ingin melakukan kebaikan. Tak terasa mataku basah. Aku seperti kehilangan semangat. Wajah petugas itu masih sangat jelas terekam dalam ingatanku. I hate him!

Tanpa ku sadari Reni sudah berada ditempat kami berpijak. Aku dan Ijur pun meninggalkan Reni dan Rahma untuk menghadap pemilik jagad raya ini. Beberapa menit kemudian kami kembali. Disana sudah ada Sammy, Sulis, Ray, Khairul, Taufik dan Tentunya Reni dan Rahma juga masih disana. Meraka kelihatan seperti baru saja mendengarkan cerita topeng monyet. Senyuman mereka membuatku bertanya-tanya. “Kek mana tadi ling,” tanya Sammy. Aku yakin Rahma dan Reni pasti sudah menceritakannya. Aku hanya berusaha untuk tersenyum. Tapi tanpa ku sadari rintik hujan turun dari langit mataku. Aku tak tau rasa apakah itu. Lelah. Senang. Sedih. Terharu.

Sammy pun mengajak kami untuk menghadap keamanan, itu permintaan dari mereka sendiri sebelum pergi meninggalkan kami. Tentunya kami tidak meninggalkan barang dagangan begitu saja. Sebagian menetap untuk menjaga barang. Hampir setengah jam kami menunggu tapi keamanan itu tak juga nampak. Seseorang laki-laki datang dan bertanya tujuan kami berada di tempat itu. Sammy pun menjawabnya. Lalu laki-laki itu pun mengambil hand-phone miliknya. Sekilas terdengar dia sedang berbicara dengan seseorang. Sepertinya itu pihak keamanan karena terdengar ia menyebutkan “mahasiswa” tapi tiba-tiba ia langsung pergi begitu saja. Aneh.

Kami memutuskan untuk kembali ketempat penjualan. Beberapa saat kemudian dari kejauhan tampak seorang keamanan membuka pintu post. Kami pun langsung menuju kesana. Kami tidak menemukan petugas tadi. Karena keamanan yang ini tidak tau permasalahan, Sulis pun membuka pembicaraan dengan menjelaskan permasalahan yang terjadi. Sulis juga mengulang lagi kalimat yang diucapkan oleh petugas ganteng tadi bahwa muslim tidak boleh jualan di mesjid dan juga ia meminta keterangan mengenai surat izin yang dikatakan oleh si petugas. “sebenarnya dipekarangan mesjid emang tak boleh jualan, ini bukan masalah muslim atau nonmuslim,” ungkap keamanan itu. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada surat izin untuk berjualan di pekarangan mesjid. Ia juga mengatakan akan mensosialisasikan kepada penjual agar tidak menjual lagi di mesjid karena satu orang yang berjualan, lainnya akan ikut, termasuk kami pada saat itu. Setelah berdiskusi panjang lebar, Rayhamizar (mantan ketua UKM Pers DETaK) pun meminta maaf kepada pihak keamanan. Kami pun meninggalkannya dengan hati sedikit lega.

Terlihat kawan-kawan UKM Pers DETaK lain sudah berkumpul di sana. Barang sudah dikemaskan. Sekarang malah dilanda kebingungan. Kami tak tau bagaimana nasib es melody kami selanjutnya. Akan dibawa kemana sisanya? Mutar sana, mutar sini. Akhirnya kami punya ide untuk berjualan keliling. Kami mencari tempat yang strategis untuk memasukkan buah ke dalam gelasnya. Menara pun jadi sasaran. “dapur di bawah menara” itulah kalimat singkat yang terdengar pada saat itu. Sedikit aneh rasanya, tapi biarlah ini menjadi pelajaran beharga buat kami. Setelah meracik segala jenis buah yang ada, kami pun berjualan keliling. Ada sedikit rasa canggung, tapi ku abaikan semua rasa yang melandaku saat itu. “Es melody kak, bu,” ucapku seakan sudah 20 tahun menggeluti profesi baruku ini. Semua mata tertuju pada kami. Entah apa yang dilototi. Aku juga tidak mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar