Jumat, 04 November 2011

Hunting berita atau hunting dosa?


Suara kenderaan beroda dua satu per satu hilang meninggalkan gedung gelanggang mahasiswa Unsyiah. Minggu (24/4) pengurus dan anggota muda UKM Pers DETaK melakukan hunting ke Pelabuhan Malahayati. Personil yang ikut serta hanya ada 12 dari kurang lebih 50 orang, tapi itu tak menggoyahkan semangat kawan-kawan yang lain untuk melakukan hunting. Perjalanan terasa begitu jauh dan melelahkan. Pinggang bak dihantam kayu besar. Pegal. Kepala pusing mendengar hiruk pikuk kenderaan lainnya. Disepanjang perjalanan mataku terus menyorot setiap gubuk kecil yang beratap rumbia. Ku amati satu per satu setiap gubuk yang ku lewati. Entah mengapa, disetiap gubuk ada muda mudi yang berpasangan. Sepertinya mereka belum menikah. Sekilas terlihat mereka masih sangat muda. Tak terlihat ada sekelompok orang atau sebut saja keluarga yang menikmati indahnya ciptaan Tuhan di setiap gubuk yang ku lewati sore itu. Sejanak aku berpikir, apakah rumah mini yang terbuat dari kayu itu sengaja dibuat khusus untuk pasangan yang belum ada ikatan sah? Tak ada jawaban yang pasti dalam benakku. Dalam perjalanan menuju pelabuhan aku melewati beberapa tempat wisata yang biasa didatangi banyak orang. Di sana terlihat makhluk Tuhan yang berkelompok-kelompok (mungkin saja itu kelompok keluarga atau pun sekelompok kawan), ada juga yang berpasangan, tapi itu sangat sedikit.

Perjalanan menuju Pelabuhan Malahayati kurang lebih mencapai satu jam. Perjalanan yang sangat membosankan. Sesampai di Pelabuhan rasa senang tak terlukis, seakan perjalanan menuju pelabuhan bagaikan berlari di gurun pasir. Menguras energi setiap insan yang berpergian ketempat tersebut. Anggota yang ikut sudah berkurang, ternyata mereka tertinggal rombongan. Kami memutuskan untuk menunggu mereka. Mataku menangkap sebuah pabrik. Ku rasa itu pabrik semen yang dulu pernah ku liat saat datang bersama keluarga beberapa tahun yang lalu. Ku rasa tak ada yang berubah dari bentuk pabrik itu. Terlihat juga sebuah kapal barang yang sedang beristirahat. Seketika suara kawan-kawan mengalihkan pandanganku. Mereka menunjukkan ubur-ubur. Itu pertama kalinya aku melihat ubur-ubur dengan mataku sendiri, sebelumnya aku hanya pernah mendengar namanya saja. Terlihat ikan-ikan kecil mendekati hewan lunak itu, entah apa yang dilakukan ikan-ikan tersebut. Di sana terlihat juga beberapa orang yang sedang memancing. Ternyata tempat itu bisa dijadikan lahan untuk menyalurkan hobby memancing.

Beberapa saat kemudian 2 kawan lainnya datang, sehingga anggota yang berpartisipasi bertambah lagi, walau hanya dua orang tapi itu lebih bagus dari pada tidak sama sekali. Beberapa menit kemudian anggota yang tertinggal rombongan berkumpul juga dengan kami. Reja Hidayat selaku Ketua UKM Pers DETaK Unsyiah memberi komando untuk berkumpul semua. Kami dibagi menjadi dua tim, yaitu: tim yang menuliskan feature dan tim yang menuliskan reportase. Aku termasuk yang menuliskan reportase. Aku dan kawan yang satu tim bergerak mencari informasi tentang pelabuhan tersebut. Terlihat empat orang berkulit putih sedang bermain bola. Sepertinya bukan orang Aceh. Sebelum mulutku bergerak untuk melemparkan pertanyaan kepada kawan satu tim, salah satu dari mereka mengatakan “nyan awak Vietnam.” Ucap Ferdi. Aku juga tak tau dari mana info itu di dapatkan. Tak begitu penting bagiku, sepertinya apa yang dikatakan memang benar, itu terbukti dari bahasa yang digunakan mereka.

Seorang laki-laki yang berumur kurang lebih sekitar 30-an duduk tenang disebuah pos. Kami mendekatinya. Aku mulai membuka pertanyaan dengan berbasa-basi dengannya. Setelah itu kawan-kawan yang lain juga tidak tinggal diam, mereka juga menyerbu lelaki itu dengan pertanyaan. Setelah berbincang-bincang beberapa menit, baru ku tau ternyata lelaki itu seorang mandor kapal yang baru sebulan tinggal di sana. Ia menjelaskan bahwa kapal itu mengangkut beras dari luar. “semenjak sebulan saya di sini udah empat kali kapal masuk,” ujarnya tak ingin disebutkan nama. Ia juga menambahkan bahwa pelabuhan itu masih ada perawatan sampai saat ini, tapi sayangnya aku tak menemukan kenyataan itu. Tempat itu terlihat seperti tak terawat. Siapa saja boleh masuk tanpa adanya tiket atau tanda pengenal. Terlihat juga binatang peliharaan; seperti kambing, anjing dan lembu bebas berkeliaran di tempat itu. Ditambah lagi dengan taik lembu yang mengotori lapangan. Itu sangat tidak menyenangkan untuk dilihat. Setelah bercakap-cakap beberapa saat dengannya, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menelusuri pelabuhan tersebut. Aku dan Anggi memasuki lapangan yang berada di samping gudang beras. Aroma beras begitu tercium. Kami mendekati seorang pemain layang-layang. Kali ini aku juga memulai percakapan dengan berbasa-basi terlebih dahulu. Ternyata ia memang tinggal di daerah Malahayati. Walaupun sedang asik menarik layang-layang, tapi ia masih sempat mendengar ucapanku dan menjawab setiap pertanyaan kami. Sesekali mataku menerawang bebas. Terlihat orang Vietnam yang tadinya hanya bermain empat orang, sekarang sudah bertambah. Sepertinya mereka sedang menikmati permaiananya.

Beberapa saat kemudian, terlihat salah satu diantara orang Vietnam itu keluar dari permainannya, sepertinya ia ingin beristirahat. Dia duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen. Aku mendekatinya. “Hello” ucapku. Dia menoleh ke arahku. “can you speak English?” sambungku. Ia hanya menjawab “yes...yes,” aku tak yakin dia benar-benar bisa Bahasa Inggris, aku memutuskan untuk mencoba berkomunikasi dengannya. “What are you doing here?” ujarku. “yes...yes” jawabnya. Sepertinya ia memang tidak mengerti maksudku. Tanpa ku minta ia meninggalkanku yang masih mengerutkan dahi melihat expresinya. Ferdi yang sudah beberapa menit mendengar ucapan kami hanya tersenyum. Lalu ia menyarankan aku untuk mencoba berkomunikasi dengan orang Vietnam lainnya, yang menurutnya bisa berbahasa internasional. Kami mendekati seorang lelaki muda yang mengenakan kaos oblong bewarna biru. Aku menyapanya. Ia tersenyum. Sebelumnya, lagi-lagi aku menanyakan apakah ia bisa berbahasa Inggris? “Yes.. I can speak English-Vietnam,” jawab Trau. aku mengerutkan dahi, aku dilanda bingung. “I can not speak English-Vietnam,” ucapku seperti orang bodoh. Lalu Ferdi menyuruhku untuk terus berbicara dengannya. Ternyata English-Vietnam yang dimaksudnya adalah Bahasa Inggris campur Vietnam. Ia membuatku sedikit kualahan. Ia mencampurkan Bahasa Inggris dan Bahasa Vietnam. Ia mengaku hanya seorang pencuci kapal. Ia datang bersama tujuh kawannya yang lain. Ia juga menunjukkan bahwa ia bisa menghitung 1-10 dengan Bahasa Indonesia “Very good,” pujiku. Ia tersenyum dan mengulanginya lagi. Sepertinya ia sangat bangga bisa menghitung dalam Bahasa Indonesia. Setelah berkomunikasi dengannya, kami memutuskan untuk kembali ketempat pertama kali kami berkumpul. Dalam perjalanan menuju tempat perkumpulan kami foto bersama tim penulis reportase.

Setelah berkumpul dengan teman-teman kelompok lain, kami foto bersama dan segera meninggalkan pelabuhan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar