Kamis, 19 Februari 2015

Kritik Sosial dalam Puisi Rendra ‘NYANYIAN ANGSA’

Sumber: http://shadowness.com/kenrozeken/iu
            Setiap penulis mempunyai cara masing-masing dalam menorehkan pengalaman hidup dalam bentuk karya sastra. Melihat, mendengar, dan merasakan adalah cara mereka dalam mengamati suatu objek yang akan dituliskan. Dalam hal ini, sama halnya dengan Willibrordus Surendra Broto Rendra, ia mengamati kehidupan sosialnya dan kemudian menciptakan puisi yang berjudul ‘Nyanyian Angsa’. Dalam puisinya Rendra mencoba menerapkan kritik sosial yang cukup tinggi dengan mengangkat isu sosial tentang seorang pelacur tua yang bertaubat diakhir hidupnya.


            Sebelum membahas kritik sosial yang disampaikan Rendra dalam puisinya, saya ingin sedikit menyorot konsistensi pengarang dalam menyampaikan kritik kepada pembaca. Tokoh Maria Zaitun yang diciptakan Rendra menunjukkan relasi antara Tuhan dan Maria sendiri yang mana Rendra menggambarkan Maria sebagai wanita yang ingin bertaubat sebelum ia meninggal. Namun disini saya melihat Rendra tidak meletakkan tekad konsisten pada tokohnya yang mana masih harus dipertanyakan, apakah Maria benar-benar ingin bertaubat? Jika ia mengapa ia sendiri belum mempunyai keyakinan atas Tuhannya itu seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

“Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”

            Pada kutipan di atas menggambar makhluk Tuhan yang begitu takut akan kematian. Disana ia mengungkapkan butuh sosok Tuhan, namun ia sendiri tidak yakin akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya sehingga mengatakan “Apa saja untuk menemani saya”. Yang menjadi pertanyaannya, apakah benar Maria datang ke Gereja untuk bertaubat atau hanya ingin meminta pertolongan agar ada yang menemaninya saat ia mati.

            Selanjutnya, pada baris ke 181 Maria mengeluarkan kata-kata makian yaitu “Bedebah” yang artinya celaka. Perkataan itu ia lontarkan setelah dua jam beranjak dari Gereja. Jika ia berniat bertaubat dan takut akan kematian, semestinya ia terus meminta ampun kepada Tuhan disetiap detik udara yang dihirupnya, bukan dengan cara mengeluarkan kata kotor dari mulutnya itu. Kembali muncul pertanyaan, apakah benar tokoh yang diciptakan Renda sebagai pelacur ini berniat untuk taubat?
            Kemudian, pada baris ke 275 Rendra menggambarkan kepasrahan Maria saat dicium dan dicumbu oleh lelaki yang tidak dikenalnya, bahkan ia sangat menikmatinya. Sebelum saya membaca baris selanjutnya, saya berasumsi jika Maria kembali menjadi pelacur dengan menyerahkan diri kepada lelaki itu. Lagi-lagi pertanyaan mucul, apa benar Maria sudah benar-benar bertaubat? Jika benar adanya, mengapa ia masih mengizinkan lelaki itu untuk bercumbu dengannya sedangkan Maria sendiri belum menyadari bahwa ia sudah di surga, seperti dalam kutipan berikut:

Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu memeluk lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

            Dalam kutipan di atas terlihat jelas bagaimana Maria menikmati perannya sebagai seorang pelacur. Tiba-tiba ia berhenti karena terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ketika itu ia sadar bahwa ia sudah berada di surga. Pertanyaan terakhir, pantaskah seorang pelacur yang tidak benar-benar bertaubat masuk surga dalam agama khatolik? Jawabannya tentu saja tidak karena setiap agama itu suci dan hanya orang-orang yang beriman yang berhak masuk surga seperti yang dikatakan Tuhan dalam KitabNya.

            Dari beberapa contoh yang sudah saya uraikan di atas, Rendra sepertinya tidak konsisten dengan karakter tokoh yang diciptakannya sendiri. Ia ingin menggambarkan seorang pelacur yang ingin bertaubat dan kemudian masuk surga, namun karakter itu tidak sempurna sehingga menjadi tanda tanya besar bagi pembaca pada umumnya dan bagi saya sendiri pada khususnya.

            Beranjak pada kritik terhadap pengarang, saya ingin memaparkan beberapa kritik yang disampaikan Rendra dalam puisinya. Pertama, Rendra melemparkan kritiknya terhadap lembaga kesehatan yang semena-mena dalam memberikan pertolongan kepada pasiennya. Disini dijelaskan bahwa Maria mengidap penyakit Sipilis dan jantung namun dokter hanya menyuruh perawat untuk memberikannya Vitamin C dikarenakan Maria adalah masyarakat miskin yang tidak sanggup membayar rumah sakit. Disini terlihat jelas jika lembaga tersebut membedakan makhluk ciptaan Tuhan dari segi material. Mereka hanya akan membantu orang-orang yang mempunyai banyak uang dan mampu membayar dokter, namun rakyat miskin hanya dipandang sebelah mata saja.

            Kritik selanjutnya yang disampaikan Rendra adalah mengenai lembaga agama. Pertama saya menemukan kalimat sebagai berikut: “Pintu gereja telah di kunci. Karena khawatir akan pencuri.” Dalam hal ini Rendra ingin bertanya kepada lembaga keagamaan, mengapa tempat ibadah harus di kunci, bukankah setiap orang bebas kapan saja berdoa di Gereja? Mengapa juga lembaga keagamaan harus khawatir akan pencuri, bukankah ada Tuhan yang akan selalu menjaganya. Dan mereka juga bisa menyewa security untuk keamanan tanpa adanya alasan Gereja harus dikunci demi keamanan.

               Demikian kritik sosial yang disampaikan Rendra dalam puisinya yang berjudul “Nyanyian Angsa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar