Selasa, 06 November 2012

Cerpen



24 Jam di Jeruji Besi

Angin sawah menerpa lembut wajah bulatku. Dengan lincah memainkan kerudung biru yang terlilit indah di kepala. Suara alam terdengar sayup-sayup. Butiran suci mengalir lembut dari sudut ekor mata. Ingatanku terpaku pada tragedi dua tahun silam. Jeritan bayi, anak-anak, orang tua, janda dan duda masih terdengar histeris di telingaku. Dentuman keras penghancur tanah suci itu juga masih menggetarkan hati dan jiwaku. Raut lelaki biadab itu masih terekam jelas diingatanku.


2008 in memorian……
Pasir mengepul. Jeritan terdengar sahut menyahut. Tangisan tak berdosa menemani hidup mati mereka. Tetesan darah sudah menjadi hal yang biasa, tapi tidak bagiku. Ini hari pertamaku di Betral.
 Bapak... Bapak!” teriak seorang bocah Betral terdengar jelas di telingaku.
Teriakan itu membarakan api kebencian di dadaku. Ingin kupenggal lelaki biadab yang sedang menyiksa bapak itu dengan tanganku sendiri, tapi apa daya, aku hanya seorang wartawati dari sebuah media swasta yang sedang menjalankan tugas. Hati nuraniku menjerit. Dadaku sesak. Tangisanku terisak. Aku benar-benar menyesal tak dapat menyelamatkan lelaki paruh baya itu. Dapat kurasakan bagaimana sakitnya kehilangan seorang ayah yang dibunuh di depan mata kepala sendiri. Sungguh manusia tak berhati. Seenaknya saja bermain dengan nyawa manusia. “I hate them.” Aku berjanji hidup dan matiku untuk Betral! Akan ku abadikan semua rekaman ini. Agar seluruh dunia bisa melihat kesakitan yang dirasakan rakyat tak berdosa itu.

Duuuuuum………
Dentuman itu terdengar lagi. Aku gelisah tak menentu. Aku berusaha setenang mungkin. Aku bersembunyi dibalik dinding besar sebuah gedung tua berlantai dua. Aku tak tau persis gedung apakah itu. Tapi itu semua tak penting bagiku. Aku harus melanjutkan tugasku. Tak boleh ada yang tertinggal dan terlewatkan sedetikpun. Seorang prajurit Betral menjambak keras rambut seorang wanita paruh baya, berbadan kurus, dan bermata bulat. Sepertinya perempuan itu sudah beberapa hari tak menyentuh makanan, tampak dari wajahnya yang begitu lemas. Ia terus saja meminta pertolongan.
Tolong! Tolong!teriak wanita itu lemas.
Si wanita meronta kesakitan. Seorang gadis kecil mengejarnya, sepertinya itu putri dari wanita paruh baya tersebut. Si gadis menarik kuat pakaian ibunya, tapi lelaki biadab itu memukulnya dengan senjata, akan tetapi gadis itu tidak  putus asa, dia mengejar ibunya lagi. Prajurit itu berhenti. Dia menghajar gadis kecil itu hingga babak belur. kepalanya berdarah dan kakinya patah disebabkan oleh hantaman senjata. Prajurit itu membawa ibu si gadis. Aku hendak menolong si gadis, tapi tiba-tiba sebuah kayu menghantam keras kepalaku. Aku pusing dan akhirnya semua menjadi gelap.

Penjara Betral…..
            Mataku perlahan menemukan setitik cahaya. Aku pusing. Mataku masih berkunang-kunang. Aku berusaha untuk menggerakkan tubuhku, tapi……. Oh no! tangan, tubuh dan kakiku terantai kuat. Mataku mencari sebuah benda yang melakat di tanganku beberapa jam yang lalu. Aku tidak menemukan rekaman milikku. Tiba-tiba aku mengingatnya, ternyata rekaman itu terikat dengan bagus di perutku. Aku lupa. Sebelum ingin menyelamatkan si gadis, aku sudah mengikatnya di perut yang ditutupi oleh pakaianku. Untung saja mereka tidak mengetahui keberadaan alat perekamku itu.

Braaaaaaaaaaak……
Seseorang mendobrak pintu. Aku terkejut. Mataku mencari sosok itu. Kulihat seorang prajurit mendekatiku. Aku menatapnya tajam. Dia membalas tatapanku tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Lima menit saling menatap, akhirnya dia membuka mulut.
“Hai wartawan kacangan, dah bosan hidup ya?” ucap si prajurit.
Aku tak menjawab pertanyaan bodohnya itu. Tatapanku tak lepas dari wajah bringasnya. Ingin ku cabut gigi bonengnya satu persatu, ku jepit hidungnya yang pesek besar itu dengan jepitan kuku raksasa dan ku congkel matanya buat hiasan di aquarium rumahku.
            “Heh, kenapa menatapku begitu? Nantang kamu?” ucapnya sambil memegang daguku dengan tangannya yang kasar.
            “Pakai sabun apa nyuci? Kasar banget tanganmu,” ucapku lantang.
            “Jangan main-main kau anak kecil, akan kuhabisi kau!”
            “Hah? Anak kecil? Perasaan umur aku udah 20 tahun deh.” Jawabku sinis tanpa ada rasa takut sedikitpun.
            “Dasar kurang ajar……..” pekiknya geram, ingin mencekekku.
“Tunggu!” sebuah suara terdengar menghentikan musibah yang akan menimpaku. Prajurit yang tak punya hati itu mengulurkan niatnya.
            “Kamu tenang aja, dia akan segera ku selesaikan, pergilah untuk makan.” Saran prajurit satunya. Si prajurit menurut dan pergi meninggalkan kami. Sebelum meninggalkan kami, dia melototiku seakan mengisyaratkan akan segera menghabisiku. Pria bertubuh besar yang sedang berdiri disampingku tiba-tiba mengeluarkan sebuah senjata tajam. Dia memainkan senjata itu di atas tubuhku. Aku hanya diam membisu. Aku tak menyangka bisa berada di jeruji nereka milik mereka. Aku berharap ada seorang malaikat yang akan menolongku dan aku bisa melanjutkan tugasku sampai selesai.
            “Auuuuwww.” Rintisku.
Lelaki itu menguliti kulit wajahku. Perih. Darah bercucuran di atas lantai tak beralas itu. Lelaki itu tersenyum sinis padaku, seakan-akan memberi isyarat bahwa dialah yang sekarang sedang berkuasa.
            “Kenapa? Sakit? Aku tidak akan membiarkan kamu mati begitu saja, akan ku siksa kau hingga akhirnya kau mati perlahan-lahan. Ha ha ha,” ucapnya dan tertawa puas.
“Dasar buaya.” Teriakku. Aku menatapnya tajam. Rasa benci menyelimutiku
Plaaaaaaaaak…
Dia menamparku. Air mata tak bisa ku pendam. Aku teringat sang ibu dan bapak, aku sudah berjanji akan kembali lagi kepelukan mereka. Tapi sekarang aku khawatir akan janjiku itu.
            “Auuuuwww.” Rintisku lagi.
Lagi-lagi manusia biadab itu menyiksaku dengan senjata tajamnya itu. Bingung,. Sedikitpun dia tidak memiliki rasa kasih sayang. Ku berdoa agar Allah memberikan hidayah kepadanya sekarang juga, agar aku tidak mati konyol dengan perlakuan biadabnya itu.
“Masih berani menantang kau?” ucapnya lantang.
“Why not! Kamu hanyalah manusia biasa, sama dengan aku, jadi apa alasanku untuk takut padamu? Hanya Sang Pencipta yang ku takuti.” Jawabku lancang.
“Oh ya?”
Sreeeeeek….
Lelaki biadab itu merobek bajuku. Oh no! apa yang akan dilakukannya? Apakah dia akan………..?????
“Tidaaaaaaaaaaakkkkkkkk…” teriakku.
“Diaaaaaaam………..” ucapnya dengan suara yang menggelegar.
Aku terdiam. Heran. Kenapa tadi aku berteriak?? Pasti karena aku berpikiran macam-macam. Itu biasa terjadi padaku disaat seperti ini. Huffff……
Lelaki itu memukul, menampar, dan menonjokku dengan membabi buta, tanpa memperdulikan manusia ataukah hewan yang sedang berhadapan dengannya. Hingga akhirnya dunia menjadi gelap. Dan aku tak tau entah apa yang terjadi setelah itu. 24 jam aku disekap di dalam jeruji jahanam itu. Sehari bagaikan setahun.

            Begitu sadar aku sudah berada ditempat serba putih. Aku melihat Ibu dan Bapak disampingku. Dua bulan aku terkapar tak berdaya di atas kasur beralas putih. Alat-alat medis menemani tidurku selama dua bulan. Semuanya seperti mimpi buruk. Aku seperti tak percaya Allah masih memberikanku kesempatan untuk mempertemukanku dengan orang tua dan sahabat-sahabatku. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menjemputku di rumah sakit milik Betral. Dan mengembalikanku ke tanah air.
           
Tahun 2010….
Jam menunjukkan pukul 17.40 WIB. Aku harus segera kembali kerumah sebelum orang tuaku kalang kabut mencariku. Ku kayuh kursi roda perlahan. Kutinggalkan ladang hijau yang penuh kedamaian. Besok aku akan kembali merasakan sejuknya angin sawah yang berada tak jauh dari rumahku itu.
“Dari mana saja kamu nak? Kenapa meninggalkan rumah tanpa memberi tahu kan ibu?” tanya sang ibu.
“Hanya sekedar mencari angin saja bu, maaf kalau aku lupa memberi tahukan ibu.” Jawabku.
“Ya sudah, sekarang ayo kita makan, ibu sudah masak tahu kesukaanmu.”
“Iya bu.” Ucapku menurut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar