Selasa, 09 Oktober 2012

Profil Udin Pelor

Semangat Muda Sang Seniman Veteran



KEBANYAKAN seniman hidup susah, melarat. Yakin menjadi seniman, berarti siap menjadi miskin. Begitulah masyarakat kita memandang seniman. Orang-orang, meski tidak mengucilkan, akan melarang anak-anak mereka menjadi seniman.

Hal yang mendasari pandangan ini yakni ujian bagi seniman sangat berat, terutama ketika konsistensi mereka diadu dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Maka, tidak heran jika satu per satu seniman kemudian lari dari jalur dan memburu kesenangan hidup dari hal lain.

Tapi, dengan mengabaikan pandangan-pandangan itu, tentu ada orang yang benar-benar konsisten sebagai seniman meski harus berakhir dengan kemelaratan. Salah satunya Mahyuddin Ismail, alias Udin Pelor. Ia setia pada profesinya sebagai seniman.

Foto: Ling
Udin Pelor adalah salah satu seniman panggung yang dikenal luas di Aceh pada tahun 80-an. Publik mengenalnya sebagai pelawak, pelakon dalam sandiwara dan musisi. Ia salah satu seniman yang paling konsisten di jalurnya sejak muda hingga tua.

Udin Pelor terjun ke dunia seni peran ketika masih berusia 18 tahun. Ia memulainya dengan menjadi pelawak jalanan, melakoni penari berkostum perempuan. Ia gemulai ketika menari, persis perempuan. Orang-orang kemudian mulai melirik bakatnya. Udin kemudian sering diundang di acara-acara resmi untuk melawak, misalnya di karnaval tingkat kecamatan untuk memperingati proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
“Waktu masih di Bireuen, saya berjoget. Saya suka joget. Orang-orang tertarik untuk menonton,” ujar Udin.
Pada tahun 1963, Udin diundang untuk ikut bergabung dalam pentas Geulanggang Labu, kelompok sandiwara keliling asal Peusangan, Bireuen. Namanya tenar setelah ia berperan sebagai Udin. Di cerita itu, kawan-kawan Udin semua tertembak dan hanya ia yang selamat. Di sanalah nama pentas Udin Pelor tercipta. Aslinya Udin “seuh pelor”, yang berarti Udin sisa pelor.

“Saya bukan tertarik pada dunia seni. Tapi, saya terdampar,” ujar seniman kelahiran Peusangan, Bireuen, 6 Juni 1945 ini.

Di awal-awal, bayaran Udin Pelor untuk sekali manggung hanya cukup untuk makan beberapa hari. Kadang, cukup lama ia tidak punya uang karena tawaran manggung semakin jarang. Tapi, sudah terlanjur. Ia tak berniat banting setir. Ia terdampar di dunia seni, maka harus berjuang untuk bertahan hidup. Ia masih ingin tampil bersama Gelanggang Labu.

Gelanggang Labu menjadi grup sandiwara keliling tersukses di Aceh pada masanya. Kelompok ini mengorbitkan beberapa seniman, mulai sosok legendaris Cut Maruhoi (sosok perempuan yang diperankan laki-laki), sri panggung Idawati, hingga megabintang Ibnu Arhas yang akhirnya menjadi politisi di Aceh. Udin Pelor pernah sepanggung dengan nama-nama besar itu.

Ia sadar tidak akan kaya dari profesinya ini, tapi ia puas. “Dari profesi ini saya hanya mampu untuk memberi makan keluarga,” katanya. Udin tidak patah semangat. Ia berhasil membesarkan satu-satunya anak yang kini telah memberikannya dua cucu.

Hingga tahun 80-an, Gelanggang Labu eksis dan dikenal di seluruh Aceh. Pementasan sandiwara mereka ditunggu-tunggu. Tapi, konflik kemudian menggerus eksistensi Gelanggang Labu. Sejak reformasi tahun 1998, nama grup sandiwara ini tenggelam. Sejak itu pula, pesona Udin Pelor pelan-pelan meredup.
Udin lalu mencoba cara lain. Ia mengembangkan bakatnya di seni musik, tampil di jalanan hingga ke panggung. Ia juga menciptakan beberapa lagu, juga menjadi penyair. Ia juga sering diajak sebagai pembawa acara di beberapa event kesenian Aceh.

Seni  membuat Udin Pelor selalu bersemangat. Orang-orang mengatakan Udin Pelor sekarang adalah sosok tua yang semakin lemah dan sering sakit. Tapi, ketika berbicara tentang seni, ia seperti muda kembali dan sakitnya seperti tiba-tiba hilang.

Ada cerita. Suatu ketika ia sedang sakit. Seorang teman, yang tak tahu kondisi Udin Pelor, kemudian datang dan mengajaknya untuk tampil melawak. Karena sedang terdesak, butuh uang untuk anak dan istri, Udin setuju. Di pentas, Udin kemudian melawak sejadi-jadinya dan penonton suka. Udin berhasil menghibur, walaupun kemudian ia terkapar di belakang pentas.

“Itu cerita dulu. Sekarang saya sudah pensiun dari panggung,” kenang Udin Pelor.
Tapi ia belum benar-benar berhenti dari seni. Di waktu senggang, Udin Pelor giat menulis puisi dan lirik lagu Aceh. Beberapa lagu ciptannya sudah dipopulerkan penyanyi lokal. Begitu juga syair-syair, sudah pernah ia pentaskan.

Sekarang Udin Pelor sedang menggarap sebuah syair rabbani wahid dengan judul “Din Awai Din”. Ia akan mengumpulkan orang-orang bernama Din untuk diajak tampil dalam pementasan rabbani. Ia menjadi pelatihnya.

Apa yang membuat Udin Pelor tetap terus bersemangat di jalurnya? Jawabannya sangat sederhana. Ia mencintai seni, karena dari seni ia memiliki pergaulan luas. Udin Pelor bergaul dengan bocah hingga orang lebih tua.

“Hidup tanpa pergaulan umpama mati sebelum mati,” katanya.
Begitulah Udin Pelor mencintai seni. Ia sangat mencintai seni dan tak ingin melepasnya. Dan, ia bahagia dengan pilihannya. [Lisma Linda]

Sumber: http://www.acehindependent.com/2012/10/07/semangat-muda-sang-seniman-veteran/

1 komentar: