Selasa, 09 Agustus 2011

Lalabi


Tak lama aku menunggu, akhirnya ia muncul juga. Segera ku langkahkan kaki memasukinya. Di sana hanya terlihat lima anak manusia. Kendaraan umum beroda empat itu pun membawaku ke Simpang Lima. “Lalabi” itulah nama keren yang diberikan Ayi untuk kendaraan itu. Itu adalah kendaraan umum khas Aceh yang biasa disebut “Labi-labi”. Aku jadi teringat pagi tadi. Aku mengatakan pada Uchie sahabatku, ingin naik kendaraan itu, ternyata sore ini keinginanku terkabul.
Aku dilanda kebingungan. Aku tak tau harus membayar berapa untuk perjalanan dari Lamnyong ke Simpang Lima. Ku lirik seorang gadis muda di sampingku yang sedang bercakap-cakap. Sambil menahan rasa malu aku bertanya, “Kak bayar berapa dari sini ke Simpang Lima?” tak lama menatapku ia langsung menjawab, “dua ribu dek,” sambil mengangguk aku tersenyum, padahal aku merasa malu. Rasanya sangat bodoh, itu saja tak tau. Seorang lelaki paruh baya melirik ke arahku. Aku hanya menunduk menahan rasa malu. Pasti dalam hati ia mengejekku. Biarlah. Setidaknya aku sudah berani naik kendaraan itu sendiri dan berani bertanya tentunya.
Sesampai di tempat tujuan kendaraan itu berhenti. Tak lama berjalan seorang lelaki memanggilku. “Dek, ho wo? Lamabaro?” tanya kernet labi-labi itu. “nggak pulang bang, aku kabur dari rumah,” ucapku sambil mengeluarkan ekspresi sedih, padahal menahan ketawa dalam hati. Lelaki itu menatapku lama. “ho wo ile? Jeut ab intat,” ucanya lagi. Aku terus saja berjalan tanpa menghiraukan ucapannya dan kakiku terhenti ketika sudah menginjak halte. Lelaki itu segera mencari penumpang yang lain, sesekali ia melirik kearahku. Aku tau, pasti ia sedang mencerna dengan baik ucapanku tadi. Kernet yang lain juga menghampiri ku. “ho wo dek,” tanyanya. Lagi-lagi aku menjawab tak mau pulang. Ku rogoh ponsel dalam ranselku. Segera ku kirimkan pesan singkat untuk Uchie, sahabatku. Lama ia tak menjawab pesan singkatku. Sambil menunggu Uchie menjemputku, aku hanya duduk manis di halte tersebut, sekali-kali membetulkan posisi duduk untuk mendapatkan kenyamanan. Setiap labi-labi lewat, mereka selalu bertanya. Jawabanku tak berubah. Rasanya ingin tertawa berguling-guling. Ternyata berbohong itu menyenangkan juga. Hahahahahaha,,,,,,,,,,,,,,,,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar