Kamis, 11 November 2010

Tragedi Ata


Disaat hati merasa gundah, pikiran pun tak bisa diajak kompromi. Hanya jemari-jemari lentik yang terus bermain di atas keyboard yang bisa menenangkan jiwa. Ingin aku menjerit dan mengatakan pada dunia “Aku menyesal”.

Tiga tahun silam, tepatnya tanggal 2 januari, aku ditugaskan ke sebuah desa yang sangat terpencil. Sangat jauh dari perkiraanku sebelum berangkat. Itu memang sudah kewajibanku sebagai seorang guru kontrak. Aku tak pernah mengeluh dengan keputusan Departemen Pendidikan.

Kepungan hutan dan semak liar, jalan seperti permukaan bulan yang dipenuhi oleh lubang-lubang, dan udara yang menyengat sebagai akibat dari maraknya penebangan liar hutan disekitarnya. Untuk berkunjung ke tempat itu, orang harus memutar otak terlebih dahulu karena perjalanannya membutuhkan waktu lima sampai enam jam. Jika hujan mengguyur, niat harus ditahan, perjalananpun harus dihentikan.

Sebuah desa yang indah, alami dan sederhana. Suasana pegunungan begitu terasa, udara sejuk, air bersih mengalir bebas di sungai Bingo, dan pepohonan rindang berjejeran di sepanjang jalan.

Aku menemukan sesuatu yang special disana, yang tak pernah ku dapat sebelumnya, disaat aku mengajar di daerah perkotaan. Murid-murid yang smart, rajin, semangat dan mempunyai prinsip yang luar biasa ‘Pendidikan adalah segala-galanya’. Aku merasa sangat beruntung bisa berada disana, walaupun ada sedikit getaran yang membuat hatiku cemas memikirkan Ibuku yang sudah ditinggal Almarhum bapak dua tahun yang lalu.

“Bu, aku punya cerpen.” Ucap Ata, siswi kelas VI SD. Saat istirahat tiba.

“Oia? coba ibu baca.” Pintaku sambil menyunggingkan senyum.

Cerpen yang bagus, ini yang ke-5 kalinya dia memperlihatkan cerpennya padaku, selama satu bulan belakangan ini. Tak ku sangka, anak seusianya begitu pinter bermain dengan kata-kata. Aku saja butuh mood yang bagus untuk menulis sebagus ini.

“Kirim aja cerpennya ke media.” Usulku.

Dia hanya mengerutkan dahi dan menggaruk kepalanya, aku tak yakin kepalanya sedang gatal. Wajah polosnya begitu terpancar dengan kebingungan yang sedang dilandanya.

“Emm.. maksud ibu, misalnya kirim ke koran-koran, ke majalah, atau ke penerbit.” Jelasku.

Dahinya semakin berkerut, dan sekarang dia mulai membuka mulutnya.

“Caranya?” ucapnya polos.

“Kirim lewat e-mail.”

Kali ini dahinya bukan berkerut lagi, tapi kepalanya menggeleng-geleng memberi isyarat dia benar-benar belum pernah mendengar nama benda aneh itu. Aku lupa di daerah ini tidak ada jaringan internet. Jangankan jaringan internet, jaringan telpon aja belum tersedia. Aku tidak melanjutkan pembahas itu lagi. Aku menyuruhnya untuk bermain dengan teman-temannya yang lain.

Disisi lain aku memperhatikan mereka. Sudah hampir sebulan aku di tempat ini. Rasanya aku tak ingin kembali ke tempat asalku. Rasa sayang ku pada mereka sudah tertanam begitu dalam. Terutama pada Ata. Dia begitu berkesan. Hampir setiap hari dia menulis puisi untukku. Selama sebulan dia juga bisa menghasilkan lima cerpen. Dia benar-benar ‘cermin’ aku waktu kecil. Aku jadi teringat dimarahi ibu gara-gara nilaiku menurun karena sibuk mengisi buku diary ketika guru sedang menerangkan pelajaran di depan. Aku jadi tersenyum sendiri mengingat kejadian itu.

***

Hari ini tepat satu bulan aku berada di desa Bunia. Akhirnya kontrakku selesai juga. Ada sedikit kegelisahan di hatiku. Aku tak sanggup meninggalkan mereka yang sebulan lagi akan Ujian akhir. Apalagi Ata. Tiba-tiba terlintas dipikiranku untuk membawa Ata ke kota, agar aku bisa selalu mendampinginya dan menjadikannya seorang penulis yang hebat. Segera ku utarakan niatku pada orang tuanya.

“Tak usah lah nak, biarkan saja Ata tinggal di sini.” Ucap Ibunya setelah mendengar paparanku.

“Bu, aku janji akan membuat Ata jadi orang berguna dan sukses disana.” Ucapku meyakinkan.

“Sayang, apa kamu mau ke kota?” Tanya Bapaknya pada Ata.

Dia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah kalau ini bisa membuat Ata sukses, kami rela.” Ucap Ibu dan berpaling kearah Bapak meminta kesetujuannya. Bapak juga mengangguk yang artinya sekarang aku boleh membawa Ata.

Akhirnya kami berpamitan kepada seluruh warga, dan pastinya kepada murid-muridku. Butiran mutiara suci dengan lembut mengalir dari sudut ekor mataku. Dengan yakin aku membawa Ata ke kota, dengan niat akan menjadikannya seorang anak yang sukses seperti yang diimpikan orang tuanya.

***

Sesampai di rumah, Ibu menyambutku dengan gembira. Dia sedikit terkejut dengan keberadaan Ata disebelahku. Tapi setelah aku menjelaskannya panjang lebar, akhirnya beliau paham juga. Aku mengajak Ata makan, lalu istirahat. Bulan depan Ata sudah Ujian Akhir. Aku sedikit memaksanya untuk belajar lebih giat.

Sebulan tak terasa, akhirnya Ata lulus juga dari SD (Sekolah Dasar) dengan hasil yang sangat memuaskan. Diawal tahun pengajaran baru, aku sedikit sibuk mengurusi Ata yang akan melanjutkan study-nya ke SMP (Sekolah Menengah Pertama). Ata sangat senang dengan prestasi yang diraihnya, dan dia segera menuliskan surat kepada orang tuanya. Setelah selesai menulis surat dia memperlihatkannya padaku.

“Mantap,” ucapku sambil mengancungi dua jempol untuknya.

Tiba-tiba aku ingat bahwa Ata punya bakat menulis, dan karena alasan itu aku membawanya ke sini.

“Ata, kakak mau ngajarin kamu cara menggunakan internet,” ucapku.

“Apaan tu kak?” Tanyanya polos. Ternyata sebulan di kota belum bisa membuat Ata menghilangkan kepolosannya itu. Tapi aku suka gayanya. Lucu.

“Ayo,” ucapku dan menarik tangannya menuju kamarku.

Aku membuatkan email dan mengajari cara pemakaiannya kepada Ata. Tak sulit mengajarinya. Dia cukup pinter untuk mengerti itu semua. Aku mengajarinya dari cara membuka, dan mengirim pesan melalui email. Dua jam, akhirnya kami selesai juga belajar mengaplikasikan email. Kini Ata bisa mengirimkan cerpennya kapanpun kemanapun dan dia mau.

“Kak, aku tidur duluan ya. Besokkan hari pertamaku sekolah.” Ucapnya sambil mengucek-ngucek matanya yang sudah tak bisa di ajak kompromi.

“Oke, met bobo ya sayang.” Ucapku sambil mengacak-acak rambut keriting miliknya.

***

Dua tahun berlalu, aku melihat begitu banyak perubahan pada Ata. Kini dia sudah dewasa. Dia sudah berhasil menerbitkan cerpen-cerpennya. Dan dia juga sudah menulis tiga novel. Karyanya pernah mendapat penghargaan dari penulis-penulis nasional. Pasti orang tuanya di sana sudah menerima kabar bahwa anaknya sudah menjadi seorang penulis yang terkenal. Dibalik itu, aku juga melihat perubahan dari pergaulannya. Aku merasa sedikit aneh dengan tingkahnya belakangan ini.

“Kak, aku pulang telat malam ini,” ucapnya datar.

“Kenapa? Kamu mau ke mana?” tanyaku.

“Buat tugas.”

“Besokkan hari minggu, jadi bisa donk ngerjain tugasnya besok.”

“Gak bisa gitu kak. Waduh, aku dah telat ni. Pergi ya kak. Daaaaaaaa….” Ucapnya dan berlari sambil melambaikan tangan padaku.

***

“Semalam jam berapa pulang?” selidikku saat Ata hendak menuju kamar mandi.

“Jam 01.30 kak.” Jawabnya dan langsung masuk kamar mandi.

Perasaanku jadi tak enak. Kenapa sikapnya padaku jadi dingin?

Tiba-tiba aku mendengar Ata muntah-muntah. Ini bukan pertama kali aku mendengar dia muntah. Aku curiga padanya.

“Ata, kamu kenapa?” tanyaku dari balik pintu.

“Nggak ada apa-apa kok, cuma masuk angin aja.” Jawabnya dan membuka pintu kamar mandi.

“Kamu yakin?”

“Iya! Kok kakak nggak percaya banget sih sama aku,” ucapnya dengan nada sedikit keras.

***

“Bu, Ata mana?” tanyaku pada Ibu saat ku sadari Ata tidak makan siang bersama kami.

“Kayaknya lagi tidur di kamar, tolong kamu bangunin.”

Aku melangkah menuju kamarnya. Pintunya tak terkunci, dengan mudah aku bisa masuk ke kamarnya. Aku mendapati Ata tertidur lemes.

“Ata, kita makan yuk,” ucapku menyentuh lengannya.

Badannya panas, sepertinya dia lagi sakit.

“Kamu sakit?” tanyaku sambil memegang dahinya.

“Kepalaku sakit banget kak,” ucapnya.

“Badan kamu panas Ta, kakak antar ke rumah sakit ya.”

“Nggak usah kak, aku nggak apa-apa kok,” tolaknya. Sepertinya Ata begitu takut mendengar kata-kata ‘Rumah Sakit’.

“Tap….” Ucapanku terpotong.

“Udah, nggak apa-apa kok. Aku udah bisa bangun,” tolaknya lagi dan berusaha untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi………… bruuuk!!! Ata jatuh pingsan. Segera aku berteriak memanggil Ibu. Kami segera membawanya ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata dugaanku selama ini terjawab. Ata HAMIL.

“Maafkan aku kak,” ucapnya pilu. Aku tak menoleh sedikitpun kearahnya.

“Kak, aku benar-benar minta maaf.” Ucapnya lagi.

“Kenapa ini bisa terjadi? Siapa yang telah menghamili kamu?” bentakku.

“Abel.” Jawabnya singkat.

“Siapa itu Abel?” bentakku lagi. Kali ini aku benar-benar kecewa pada Ata.

“Teman Facebook aku kak.”

“Hah? Teman FB?”

“Iya, kami pacaran lewat dunia maya. Tapi akhirnya Abel minta bertemu langsung denganku.”

“Lalu?”

“Malam itu dia memperkosaku,” ucapnya dalam isak tangis.

***

Kejadian itu benar-benar tak bisa ku lupakan. Tragedi yang membuat dadaku sesak bila mengingatnya. Hanya dengan memainkan jari di atas monitor notebook kesayanganku ini hatiku bisa sedikit tenang. Setidaknya aku sudah bisa mengeluarkan sebuah novel tentang seorang Ata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar